PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A.Pendahuluan
Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam .Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.
Di dunia Islam Ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan,dialah yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah .Ia juga terkenal dengan pembaharuannya dibidang pergerakan (politik) ,dimana Ia bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.
Disamping Ia dikenal sebagai pembaharu dibidang keagamaan dan pergerakan (politik) ,Ia juga sebagai pembaharu dibidsang pendidikan Isalam,dimana Ia pernah menjabat Syekh atau rektor Universitas AlAzhar di Cairo Mesir.Pada masa menjabat rektor inilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut ,yang pengaruhnya sangat luas di dunia Islam.Dan usaha –usaha pembaharuan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
B.Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab.Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr.Muhammad Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.1
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari orang tuanya,kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Qur an .Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua tahun .Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa Arab,nahu ,sarf,fiqih dan sebagainya.Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode hapalan diluar kepala,dengan metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.2
Ketidak puasan dengan metode menghapal diluar kepala ,Ia meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat akan bekerja sebagai petani .Dan pada tahun 1865 ,sewaktu masih berumur 16 tahun Iapun menikah.
Setelah empat puluh hari menikah ,Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk belajar,Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta ,malah bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorng terpelajar pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli.3
Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk belajar,kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca buku ,namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya .Berkat kegigihan Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya,dan setiap Ia membaca beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud oleh kalimat itu.Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan .Setelah itu Ia mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan tahu lebih banyak.Akhirnya Iapun pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah selesai belajar di Tanta ,Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun 1866.Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaludin Al-Afgani,ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul.Dalam perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur an .Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri.Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik didalam diri Muhammad Abduh.4
Dan ketika Jamaludin Al-Afgani datang da tahun 1871,untuk menetap di Mesir ,Muhammad Abduh menjadi murid yang paling setia .Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-Afgani.Dimasa ini Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja terbit.
Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim .Ia kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar,Darul Ulum dan dirumahnya sendiri ,Ia mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih,Muqaddimah Ibnu Khgaldun dan Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain.Dari sinilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
C.Ide Pembaharuan Pendidikan Islam Muhammad Abduh
1.Pembaharuan Pendidikan Islam di Al-Azhar
Al-Azhar mulai dikenal pada masa dinasti Fatimiyah menguasai Mesir ,pada paro kedua abad ke-10 5.Tepatnya pada tahun 359 H/970 M,Khalifah al-Muiz Lidinillah (341 – 365 H/953 – 975 M ) memerintahkan panglima Jauhar al-Katib as-Siqili agar meletakan batu pertama bagi pembangunan Masjid Jami’ al-Azhar yang selesai pembangunannya pada tahun 361 H / 971 M.6
Semula ide para pnguasa daulah Fatimiyah untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar di al-Azhar adalah karena dorongan kepentingan madzhab.Namun gagasan ini kemudian berkembang sehingga lembaga pendidikannya berubah menjadi sebuah perguruan tinggi.
Pada tahun 365 H / 975 M untuk pertama kalinya dimulai kegiatan ilmiyah yang sederhana materinya adalah prinsip-prinsip fiqih syiah yang terkandung dalam buku al-Ikhtisar atau al-Iqsar yang ditulis oleh orang tua Abu Hasan an-Nu’man .Kemudian atas usulan mentri Ya’kub bin Killis (Ibnu Killis) perkuliahan itu dilaksanakan secara kontinyu.
Jabatan Syekh al-Azhar dibentuk pada tahun 925 H /1517 M.Sejak itu,Syekh al-Azharlah orang pertama yang berhak memberikan penilaian atas reputasi ilmiyah bagi tenaga pengajar,mufti dan hakim.Sedang sistem pengajaran dipakai di al-Azhar adalah sistem halaqah (kelompok studi dalam bentuk lingkaran dalam masjid) yang menggunakan syarah niqasi (diskusi) dan hiwar (dialog).7
Pada bulan Februari 1872 M,mulai ada pengembangan di al-Azhar ,yaitu pada masa kepemimpinan Syekh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi Syekh (rektor) al-Azhar ke –21,Ia memasukan sistem ujian untuk mendapat ijazah al-Azhar .Selanjutnya seiring perkembangan zaman al-Azhar mengalami pengembangan –pengembangan termasuk pada kepemimpinan Syekh Muhammad Abduh.
Karir Muhammad Abduh sendiri dimulai setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877,atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya,Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum,disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas al-Azhar ,Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya,yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam itu,menghidupkan Islam dengan metode-metode baru baru sesuai dengan kemajuan zaman,memperkembangkan kesusastraan Arab sehingga ia merupakan bahasa yang hidup dan kaya raya ,serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik,Tidak itu saja ia mengkritik politik pemerintah pada umumnya,terutama sekali politik pengajarannya yang menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup,sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajah asing.8
Di al-Azhar sendiri Ia mengajar logika,teologi dan filsafat,etika dan sejarah.Untuk etika dipilihnya buku Tahzib al-Akhlaq (pembinaan akhlaq) karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Eropa karangan F.Guizot untuk pelajaran sejarah.Dalam mengajar Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis dan rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat,9 dan menjauhi paham patalisme karena paham ini harus dirubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan ,inilah yang akan menimbulkan dinamika umat Islam kembali 10
Ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam menyebabkan kemunduran Umat,kelemahan umat,stagnasi pemikiran Umat,absennya jihad Umat,absennya kemajuan kultur Ummat dan tercabutnya Umat dari norma-norma dasar pendidikan Islam11
Poin-poin tersebut diatas pada dasarnya menunjukan krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut .12Krisis tersebut penyebabnya adalah salah satunya dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu ,sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural dan peradaban.
Kondisi tersebut diatas yang menimpa umat Islam secara keseluruhan pada abad ke-12 ,juga menimpa al-Azhar ,dimana al-Azhar dikuasai oleh ulama-ulama konservatif yang membawa al-Azhar terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan ,dimana mereka lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supemasi fiqih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain.
Kondisi al-Azhar tersebut,menggugah Muhammad Abduh untuk mengadadakan perubahan-perubahan.Dia yakin bahwa apabila al-Azhardiperbaiki ,kondisi umat Islam akan baik.Menurutnya ,apabila al-Azhar ingin diperbaiki,pembenahan administrasi dan pendidikan didalamnyapun harus dibenahi ,kurikulumnya diperluas ,mencakup ilmu-ilmu modern,sehinnga al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin.13
Untuk mewujudkan cita-citanya untuk mewujudkan kemajuan al-Azhar ,Muhammad Abduh berusaha mencari dukungan ulama-ulama al-azhar dan tokoh-tokoh lain termasuk al-Khudaywi untuk merestui rencananya itu ,namun dia gagal14.
Ketika Abbas Hilmi naik kepentas kekuasaan,dia mengeluarkan keputusan untuk membentuk sebuah panitia yang mengatur al-Azhar.Dalam kepanitiaan itu Muhammad Abduh mewakili pemerintahdan menjadi pemerkasanya.15Kesempatan ini digunakan Muhammad Abduh dengan sebaik-baiknya untuk mereformasi kondisi al-Azhar,usahanya ini didukung oleh Syekh an-Nawawi yang merupakan teman akrabnya16.Adapun pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan al-Azhar adalah :
1. Menaikan gaji guru-guru atau dosen-dosen yang miskin
2. Membangun Ruaq Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosen-dosen dan mahasiswanya.
3. Mendirikan Dewan Administrasi Al-Azhar ( Idarah al-Azhar)
4. Memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
5. Mengangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh al-Azhar.
6. Meengatur hari libur,dimana libur lebih pendek dan masa belajar lebuh panjang.
7. Uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal Syarah al-Hawasyi diusahakan dihilangkan dan digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
8. Menambahkan mata pelajaran Berhitung,Aljabar,Sejarah Islam,Bahasa dan Sastra dan Prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum al-Azhar.17
Usaha pembaharuan Muhammad Abduh mengalamalami kegaga-
Galan terutama usahanya menghilangkan dikotomi pendidikan,setelah al-Khudaywi Abbas berbalik menolak upaya perbaikan terhadap al-Azhar dan mendukung orang-orang yang kontra dengan Muhammad Abduh.Syekh Muhammad Abduh akhirnya dipecat dari kepanitiaan tersebut ,dan al-Azharpun kembali kepada keadaan semula,dengan kurikulum lamanya.18
Walaupun Muhammad Abduh pada saat itu belum berhasil memperbaiki kondisi al-Azhar karena banyak penetangan dari ulama-ulama al-Azhar yang konservatif,tetapi usaha pembaharuannya sangat berpengaruh pada dunia Islam hingga sekarang.
2.Pembaharuan di Bidang Pendidikan Politik
Ketertarikan Muhammad Abduh pada dunia politik dimulai semenjak perkenalannya dengan seorang tokoh pembaharu yaitu Jamaludin Al Afgani pada tahun 1870 sewaktu Ia masih menjadi mahasiswa di al-Azhar 19 .Sewaktu Al-Afgani diusir dari Mesir pada tahun 1879,karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi tawfiq,Muhammad Abduh dipandang ikut campur dalam soal ini ,Ia dibuang keluar Cairo.Tapi ditahun 1880 Ia boleh kembali keibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah “Al-Waqi’ Al-Misriyah”.20
Al Waqi’ Al-Misriyah ,surat kabar resmi pemerintah dibawah pimpinan Muhammad Abduh,mempunyai peranan penting dalam perjuangan rakyat Mesir melawan kolonial,dimana surat kabar bukan hanya menyiarkan berita-berita resmi,tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan Mesir dan senantiasa mendorong rasa nasionalisme rakyat Mesir untuk membela negaranya.21
Setelah Urabi Pasya,dari golongan nasionalis sepenuhnya dapat mengontrol dan menguasai tentara Mesir dari perwira-perwira Turki dan Sarkas,Inggris tidak berkenan dan menganggap berbahaya bagi kepentingannya di Mesir,untuk itu mereka ingin menjatuhkan Urabi Pasya dengan mengebom Alexandria dari laut pada tahun 1882.Pengeboman Inggris atas Alexandria mendapat perlawanan sengit dari kaum nasionalis ,walaupun pada akhirnya kaum nasionalis dapat dikalahkan pasukan Inggris,Mesirpun jatuh dibawah kekuasaan Inggris.22
Dalam revolusi Urabi Pasya itu,Muhammad Abduh turut mmainkan peranan.Dia bersama-sama pemimpin lainnya ditangkap,dipenjarakan dan kemudian dibuang keluar negeri pada tahun 1882.Pertama di Bairut Libanon kemudian di Paris .Pada tahun1884 Ia bersama-sama Jamaludin Al-Afgani mendirikan majalah “AL-Urwatul Wutsqa” di Paris.23
Melalui majalah ini Ia bersama Jamaludin Al-Afgani menyusun gerakan bernama Al-Urwatul Wutsqa,yaitu gerakan kesadaran umat Islam sedunia.Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkannya suara keinsyapan keseluruh dunia Islam ,supaya mereka bangkit dari tidurnya melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot serta bersatu membangun kebudayaan dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.Suara itu lantang sekali kedengarannya dan dengan pesat menggema keseluruh dunia,memperlihatkan pengaruhnya dikalangan umat Islam,sehingga dalam tempo yang singkat kaum imperalis menjadi gempar dan cemas.Akhirnya majalah itu ditutup pemerintah Prancis dikala majalah itu baru terbit delapan belas nomor.24
Dibidang politik kenegaraan,Abduh memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-Afgani.Al Afgani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara,sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat.Abduh tidak menghendaki jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi.Olehkarena itu Abduh tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.25
Dalam soal kekuasaan,Muhammad Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan institusi yang jelas.Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang.Untuk itu,Muhammad Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.26
3.Pembaharuan dibidang Sosial Keagamaan
Menurut Muhammad Abduh,sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam.27Karena faham jumud ininlah umat Islam tidak menghendaki perubahan,umat Islam setatis tidak mau menerima perubahan dan umt Islam berpegang teguh tradisi.
Untuk mencerahkan umat Islam dari kejumudan itu,Muhammad Abduh menerbitkan majalah al-Manar .Penerbitan majalah ini diteruskan oleh muridnya yaitu Rasyid Ridla (1865-1935) yang kemudian menjadi tafsir Al-Manar.
Adapun pokok –pokok pemikiran Muhammad Abduh dibidang sosial keagamaan adalah :
1) Kemajuan agama Islam itu tertutup oleh umat Islam sendiri,dimana umat Islam beku dalam memahami ajaran Islam,dihapalkan lapadznya tapi tidak berusaha mengamalkan isi kandungannya.Dalam hal ini ungkapan Abduh yang terkenal didunia Islam الاسلام محجوب بالمسلمين “Islam itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
2) Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. الدين هو العقل لا دين لمن لا عقل له”Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”.
Dari akal akan terungkap misteri alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri.Hanya dengan ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukan dirinya sebagai makhluk Allah yang tunduk berbakti kepada yang Maha Pencipta.
3) Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula
Ilmu Pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.28
D.Penutup
Ide-ide dan ajaran Muhammad Abduh diatas mempengaruhi dunia Islam pada umumnya dan khususnya dunia Arab baik melalui karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri maupun melalui tulisan-tulisan murid-muridnya ,seperti Muhammad Rasyid Ridla dengan majalah al-Manar dan tafsir al-Manarnya,Kasim Amin dengan dengan buku Tahrir al-Marah,Farid Wajdi dengan Dairah al-Ma’arif dan lain-lain.
Karangan –karangan Muhammad Abduh sendiri telah banyak diterjemahkan kedalam bahasa asing ,seperti bahasa Turki,Urdu dan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud,Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
Jogjakarta;Gama Media,2002
Ensiklopedi Islam Jilid 1 ,Jakarta;Ikhtiar Baru Van Hoeve,2001
Ensiklopedi Islam Jilid 3 ,Jakarta;Ikhtiar Baru Van Hoeve,2001
Husayn Ahmad Amin,Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,Bandung;
Remaja Rosdakarya,2001
Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Ge-
rakan ,Jakarta; Bulan Bintang,1975
Syekh Muhammad Abduh,Risalah Tauhid,Jakarta ; Bulan Bintang 1975
Rusni,Kemuhammadiyahan,Surakarta;Majlis Dikdasmen Pimpinan
Muhammadiyah Kota Surakarta,1994
Senin, 25 Januari 2010
Makalah Cak Nur dan Munawir
GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
NURCHOLISH MADJID
Oleh : Iis Sutisna
A. Pendahuluan
Perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran sejak abad ke 19 lalu.Istilah gerakan yang disebut “pembaruan” ini memberi arah dan perspektif keagamaan yang relative berbeda dari pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah.Salah satu ciri utamanya adalah kuatnya pembaruan antara nilai-nilai keislaman dengan tradisi local.Pembaruan itu terjadi akibat proses dialog antara nilai-nilai keislaman dengan kebutuhan modernitas dan aktualisasi zaman umat lewat cara damai (penetration pacifigure) dan mengedepankan konsesi-konsesi budaya masyarakat setempat.1
Dalam periodesasi gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia,ketidak selarasan antara patokan agama yang suci dengan kebiasaan adat yang menyimpang dari syariah Islam,desakan kolonialisme,dan dominannya kekuasaan negra menjadi factor-faktor penentu secara structural.Secara cultural,periodesasi sejarah kesadaran keagamaan umat Islam Indonesia sebagamana disebutkan Kuntowijoyo (1999) terbagi menjadi tiga tingkat,mitos,idiologi dan ilmu.2
Bagamananpun,sebuah perubahan social tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuatan sejarah seperti adanya mobilitas social (social mobility) saja,tapi juga adanya minoritas kreatif (creative minority) dan pribadi kreatif (creative personality) sebagai inisiatornya.Dalam makalah ini lebih ditunjukan kepada pribadi kreatif itu yakni kepada cendekiawan Muslim yang berusaha mempersempit kesenjangan antara “idial Islam” dengan Islam histories; atau antara Islam dalam teori dan Islam dalam praktek.3 Namun,secara keseluruhan gerakan pemikiran itu bermula dari renungan dan pemahaman akan pentingnya kekuatan psikologis (psychological striking force) guna mendobrak kemandegan cara pandang umat terhadap masalah aktual yang dihadapinya.
Sebagai seorang cendekiwan Muslim Indonesia ternama,pemikiran Nurcholish Madjid telah mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman masyarakat Indonesia.Masyrakat Indonesia lebih mengenalnya berkat pidato dalam pertemuan silaturohim pemuda Islam yang tergabung dalam organisasi seperti,HMI,GPI,dan PII .”Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, merupakan pidato penting sekaligus tonggak perubahan pemikiran keislamannya dalam pertemuan tersebut.Ada dua momen sejarah penting sehubungan pidatonya tanggal 3 Januari 1970 itu.Pertama,berakhirnya periodesasi sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam modernisme dan munculnya periodesasi neo-modernisme.Kedua,muali berkuasanya pemerintahan Orde Baru yang secara terang tak mau mengakomodir kepentingan politik Islam.Dalam dua konteks itu,Nurcholish Madjid menyampaikan dalam pidato 3 Januari 1970 tersebut ungkapkan; Islam,Yes,Partai Islam,No,serta menganjurkan sekularisasi pemahaman keislaman masyarakat Muslim Indonesia.4
Pertanyaan utama dalam makalah ini adalah bagaimana meletakan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid dalam dinamika (rekontruksi) sejarah pemikiran umat Islam di Indonesia sehubungan dengan persoalan empiric menyangkut negara termasuk didalamnya masalah dasar negara,pluralisme masyarakat,dan cita-cita keadilan social.Batasan akhir dari penulisan ini tahun 2004 diambil karena menjadi antiklimaks pemikiran Nurcholish Madjid dari seorang pemikir idialis ke praktis politikn lewat pencalonan dirinya sebagai presiden dalam Konvensi Partai Golkar.5
B. Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Jombang,Jawa Timur 17 Maret 1939 dan wafat 29 Agustua 2005 karena sakit.Ia merupakan anak terua pasangan K.H.Abdul Madjid dan Fathonah.Keluarga ini memiliki hubungan erat dengan pemimpin NU,K.H.Hasyim Asy’ari.
Nurcholish Madjid sejak umur 6 tahun telah belajar agama dengan sang ayah di Madrasah Wathaniyah milik mereka dan Sekolah Rakyat di kampungnya.Setamat SR tahun 1952,untuk sementara ia belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rojoso yang berhaluan tradisional.Namun perkembangan politik tajun 1952 dengan keluarnya NU dari Masyumi berdampak pada pergaulannya di Darul Ulum.
K.H.Abdul Madjid yang teguh menjalankan wasiat K.H.Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi satu-satunya partai umat Islam,berada dalam dilemma politik apakah tetap di Masyumi atau menyebrang ke NU yang dihuni sebagian besar para ulama tradisional yang juga para sahabatnya.Tapi,akhirnya ia memutuskan ibertahan dim partai modernis ini,begitu juga sang istri yang menjadi juru kampanye partai tahun 1955.6
Akibat dari sikap politik yang bersebrangan ini keluarga Nurcholish Madjid dimusuhi oleh sebagian besar keluarga besar NU dan dikucilkan dari pergaulan sekitarnya.Namun ,”dengan cara itulah saya belajar memahami perbedaan pendapat.Asalkan kita yakin pendapat itu benar,jangan takut”,demikian disampaikan Nurcholish Madjid.7 Meskipun begitu,berbagai ejekan dan ledekan sebagai “anak Masyumi kesasar” melukai hatinya dan ini menyebabkan kedua orang tuanya memindahkan sang anak kesekolah lain yang dianggap berhaluan Masyumi,dan pilihan itu jatuh ke Pesantren Darussalam Gontor,Ponorogo,Jawa Timur tahun 1955.8
Gontor memberi Nurcholish Madjid suasana yang lebih liberal,baik dalam memilih penghayatan keagamman NU atau Muhammadiyah maupun dalam partisan politik.Di Pesantren ini juga ia berkenalan dengan system pemahaman Fiqih yang bersifat komparasi antar mazhad.9 Pengayaan bahasa yang tak hanya Arab, tapi juga Inggris, Perancis menjadi menjadi pintu masuk pengetahuanya terhadap literature-literatur modern dan membuka horizon pemikirannya terhadap berbagai tema dunia modern.
Kepergianya belajar ke Chicago University,AS,melanjutkan studi dengan belajar kepada Fazlur Rahman tahun 1978,menjadi titik pengukuhannya sebagai salah satu pemikir neo-modernisme di Indonesia dengan meraih gelar doctor di bidang filsafat Islam tahun 1984.10
Secara keagamaan dan cultural,Nurcholish Madjid tumbuh dan berkembang di lingkungan tradisi ke-NU-an.Kondisi sosial semasa kecilnya bisa dikatakan tak banyak mempengaruhi kepribadian ataupun pemikirannya di kemudian hari.Ia tidak mengalami apa makna penjajahan,baik Belanda atau Jepang,sekalipun mengalami masa pendudukan tahun 1942 – 1945 di waktu berusia 6 tahun.Selain itu,ikatan emosional dan romantisme dirinya terhadap revolusi tidak dialaminya secara dalam dan intens.Gelora patriotisme revolusi pisik (1945-1949) keburu berakhir ketika ia menyadari realita lingkungannya.Eksistensi Nurcholish Madjid sendiri terutama dibentuk oleh kondisi social politik system Orde Lama dan Orde Baru.Kedua system pemerintahan inilah yang menjadi basis dan latar belakang lahirnya pemikiran-pemikirannya,dan hal itu tak bisa dilepaskan dari bagaimana meletakan Islam sebagai agama,cita-cita,dan nilai dalam kerangka negara Indonesia.
C. Pembaharuan Pemikiran Nurcholis Madjid
Dari sudut cultural maka “panggung politik”,yang merupakan konteks social histories dari aktivitas Nurcholish Madjid,dapat pula ditandai oleh adanya tiga gejala intelektual yang tengah berkembang.
Pertama,”keletihan intelektual” yang dihadapi oleh tokoh tua Muslim semacam Natsir,Roem,Hamka dan lain-lain dalam memperjuangakn Negara Islam dan Idiologi Islam.Maka dari itu,cukup dimengerti kritikan terhadap pembaruan pemikiran Nurcholish Madjid tahun 1970-an yang mengusung ide sekulerisasi.Sebelum 1970,sebagian umat Islam,lewat bekas pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Natsir,roem,Prawoto berada dalam suasana frustasi oleh perlakuan Orba.Gagalnya rehabilitasi Masyumi,dan kooptasi pemerintah terhadap Parmusi yang mereka harapkan dapat menjadi saluran politik baru,telah memudarkan harapan mereka selama satu dasa warsa lebih menciptakan masyarakat Islam Indonesia atau lazim disebut Negara Islam Indonesia.Di tengah kondisi perpolitikan nasional yang tidak menguntungkan mereka tersebut,dan pencanangannya program pembangunan yang sekuler sebagai orientasi baru Negara yang mengganti peran idiologi dimana Orba merangkul kelompok-kelompok intelektual Kristen bentukan Ali Murtopo,maka dapat dipahami,di tengah rasa frustasi yang mendalam,sekulerisme dengan segala percabangannya - seperti sekularisasi- ,tetapi memiliki makna pemisahan agama dari Negara menjadi isu sensitive.
Kedua, munculnya antusiasme beragama di kalangan muda Muslim perkotaan. Kemunculan mereka lebih sebagai bagian dari merumuskan bentuk-bentuk ritual dan seremonial keagamaan yang lebih sahih tanpa mencantelkan diri kepada lembaga-lembagan keagamaan mapan personal ulama yang memiliki otoritas ortodoks.Mereka ini berasal dari kelompok santri di luar institusi pendidikan agama Islam resmi semacam pesantren,madrasah atau IAIN.
Ketiga,seiring perkembangan kota,nilai-nilai modernisasi menjadi salah satu daya tarik makna hidup perkotaan.Salah satu cirri utama keberagamaan di era modern oleh masyarakat perkotaan adalah dikotomi antara kemajuan dan kekolotan dan aktualisasi sosial diantara pemeluk agama.
Dalam tiga sosio histories itulah Nurcholish Madjid merasa perlu merevisi pemahaman dan cita sosio-politik Amat Islam dengan pandangan pada ajaran Islam bernilai universal,bersikap terbuka dalam beragama,Islam sebagai agama kemanusiaan dan Islam sebagai agama peradaban.Nilai universal Islam adalah ajaran atau dogma yang memandang bahwa pada dasarnya agma manusia diseluruh alam sama,yakni Al Islam.Al Islam merupakan sikap kepasrahan dan ketundukan sepenuhnya pada Allah sebagai agama manusia sepanjang masa.11 Kepasrahan sepenuhnya pada Allah ini merupakan hasil pencarian kebenaran secara murni dan tulus (hanif).12 Kepasrahan dalam ber-Islam,termanifestasi pada prilaku umat Islam lewat adanya sikap terbuka dalam beragama.
Sikap terbuka ini merupakan penerapan suatu system alternative dalam beragama dengan menekankan toleransi dan kebebasan beribadat,penghargaan kepadawarisan budaya kelompok-kelompok lain dan hak sah pribadi,sikap positif terhadap ilmu pengetahuan,dan kehidupan bebas tahayul.13Penerapan prilaku ini menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya terletak pada kesadaran realita plural masyarakat Indonesia.Kesadaran ini sekaligus merupakan nilai positif dan rahmat Tuhan kepada umat Muslim sebagai perangkat guna mendorong pengayaan budaya bangsa sebagai pertailan sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.14
Nilai Islam sebagai agama kemanusiaan menurut Nurcholish Madjid sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal.Pada dasarnya manusia dalam pandangan Islam hádala baik dan tercipta secara fitrah atau asal suci bersih.15 Ekpresi kepasrahan kepada Yang Maha Cinta (Allah) sebagai keimanan yang personal mesti mewujud dalam sikap cinta sesame manusia sebagai bentuk nilai keuniversalan.Memahami nilai kemanusiaan dalam Islam ini tidak bisa dilepaskan dari makna pidato terakhir Nabi Muhammad saw dalam haji perpisahan (haji wada).16
Menurut pidato perpisahan Nabi merupakan ringkasan aspek etis atau moral dari nilai keislaman mengenai kehidupan bersama dalam wahana politik modern (Negara).Pidato ini sendiri memuat lima prinsip pokok dimensi kemanusiaan dalam Islam,yakni prisip persamaan manusia,hak asasi manusia,tanggung jawab individual,anti penindasan,persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.Penjabaran makna Pidato Perpisahan nabi Muhammad saw itu dipercayai Nurcholish Madjid mempunyai nilai kemanusiaan sama nilainya dengan sepuluh Perintah Tuhan (Musa as) dan Khutbah di Bukit (Isa as).17
Maka dari itu Nurcholis Madjid memahami bahwa,:
“Barangsiapa merugikan seorang pribadi,seperti membunuhnya,
tanpa alasan yang sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia.Dan barangsiapa berbuat baik kepada seseorang,seperti menolong hidupnya,maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia”.18
Al Qur’an sebagai landasan pokok agama Islam juga menurutnya memberi landasan primer ajaran kemanusiaan di atas.Hal tersebut bias dilihat pada QS.Al Maidah ayat 23-27 dan dirumuskan dalam bentuk istilah Nurcholis Madjid “sepuluh wasiat Allah”.Sepuluh wasiat Allah dirangkum Nurcholis Madjid yakni pertama,tidak musyrik atau menyekutukan Allah dengan yang lainnya,kedua,berbuat baik kepada orang tua,ketiga,jangan membunuh keturunan atas kepentingan duniawi,keempat,menjauhi kejahatan baik yang lahir maupun batin,kelima,jangan membunuh manusia tanpa alasan yang haqq (yang dibolehkan agama),keenam,jangan berdekatan dengan harta anak yatim,kecualilewat cara-cara yang baik,ketujuh,jujur dalam hal jual beli,kedelapan,berlaku yang jujur atau adil meski mengenai kerabat sendiri,kesembilan,penuhi janji kepada Allah,kesepuluh,ikutilah jalan lurus dengan teguh (istiqomah).19
Islam sebagai agama peradaban,lebih terarah pada penghayatan iman dalam prilaku sosial setiap muslim.Ajaran Islam mewujud nyata secara etis dan moral dalam prilaku individu.Dalam kontek sebagai agama peradaban,umat Islam tidak boleh bersifat formalistik ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,tetapi lebih mementingkan sisi substansial ajaran agamanya secara etis.20
Secara stuktural,”panggung publik” Nurcholish Madjid terbentuk oleh dua kenyataan histories.Pertama ialah runtuhnya system Orde Lama dan naiknya Orde baru yang memakai paradigma consensus,dimana Negara menjadikan dirinya sebagai personifikasi bangsa dan meniadakan peran masyarakat.21 Lebih dari itu,Orde Baru pun memberlakukan perbedaan sebagai hal yang perlu direduksi dengan adanya “penyeragaman nilai” atau the homogenization of all values.Idiologi untuk waktu yang cukup lama menjadi “panglima” diganti oleh kata “pembangunan” dan diatasnyapun terpampang sebuah rangka yang disebut “kestabilan” Bagi para “idiolog” Orde Baru,pembangunan akan berjalan dengan baik jika didasarkanadanya stabilitas nasional,baik dalam hal politik,ekonomi,budaya,bahkan pemikiran.Dan atas nama stabilitas nasional itu pula konflik atau perbedaan pemikiran menjadi hal tabu dan terlarang,apalagi perbedaan itu menyangkut kepentingan pengusa rezim.Kedua, pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya makin mengukuhkan jalinan perubahan structural dalam masyarakat,kehidupan kota dengan segala corak diferensiasi dan spesialis kerja,tingginya tingkat mobilitas geografis,dan berjamurnya sekolah-sekolah serta pusat-pusat pendidikan.
Kota seperti Jakarta,misalnya,bahkan telah menjadi miniature Indonesia,tempat segala jenis suku bangsa bertemu dengan segala kepentingan dan kebutuhan.Pembangunan kota yang telah dimulai sejak awal abad ke 20 di masa Orde Baru makin menggemerlapkan dirinya dengan pembangunan yang bersifat fisik,sehingga makin menggeser peran komunitas pedesaan sebagai tempat berlangsungnya perubahan arena tuntutan akan lahan dan tenaga kerja.
Situasi peralihan dan perubahan masyarkat yang bersifat structural ini adalah dua dinamika yang saling berkaitan.Dan dari dua situasi itu juga,Nurcholish Madjid meletakan pemikirannya pada pemahaman akan keindonesiaan an sich,jauh dari apa yang diperjuangkan kelompok Islam di konstituante atau di jalur pembangkangan seperti DI/TII di Jawa Barat atau di Aceh.Bagi Nurcholish Madjid keindonesiaan berjalan beriringan dengan Islam yang menyediakan bahan tanpa batas kepada pengisian nyata nilai-nilai Pancasila.Pancasila sebagai dasar filosofi bernegara memberikan kerangka konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di Indonesia,sehingga relevan dengan masalah bangsa dan Negara.22 Ada dua masalah utama dalam hal ini menurutnya ; demokrasi dan keadilan sosial.
Prisip keadilan sosial berkaitan dengan adanya keadilan ekonomi. Prinsip utama keadilan ekonomi adalah memandang kebebasan positif yang berarti kesamaan hak-hak warga Negara terhadap kondisi social dan material setiap individu sebagai syarat bagi pengembangan dirinya.23 Cita-cita keadilan sosial dalam Negara terkait erat dengan persoalan ekonami kerakyatan.24 Ketidakadilan ekonomi menyebabkan kemiskinan yang parah. Kemiskinan mengakibatkan degradasi moral sehingga membahayakan bagi suatu masyarakat.Islam dalam pandangan Nurcholish Madjid banyak mengajarkan pembelaan terhadap kaum miskin ini.Ide pokok dari pembelaan terhadap kaum lemah ekonomi tersebut ialah bagaimana menghilangkan kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi antara sikaya dan si miskin.25
Kesenjangan ekonomi merupakan akar dari kesenjangan sosial. Islam mengajarkan bahwa tidak boleh terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang,dan menghendaki pemerataan terhadap sumber daya ekonomi untuk kepentingan bersama.26Pelaksanaan prinsip keadilan sosial,yang menjadi tujuan akhir bernegara di Indonesia menghendaki adanya pembagian kekayaan nasional yang lebih merata.27
D. Penutup
Dalam Al Quran, pluralisme sesungguhnya sebuah relitas sosial dan sejarah. Jika Allah mau tentu dijadikannya satu umat saja manusia di bumi ini, tapi itu tidak terjadi. Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa,bersuku agar mereka itu saling mengenal satu sama lain (QS. 49: 13).Atas dasar pemahaman itulah, kini, di Indonesia muncul pemahaman keislaman yang dimotori oleh sekolompok generasi muda muslim,generasi apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai bagian dari sebuah kesadaran kolektif, respon, atau kesaksian zaman dari sebuah generasi yang berada pada masa peralihan; menemukan identitas keislaman kontekstual di satu sisi, sekaligus berada dalam rangka ortodoksi Islam sahih di sisi lainnya
Cita-cita keadilan sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari amal saleh tiap umat Islam di Indonesia.Namun sehubungan dengan tujuan yang sama dalam pembukaan konstitusi Indonesia, Nurcholish Madjid melihat masih perlunya Negara.Sebagai kerangka penjamin cita-cita keadilan sosial itu. Baginya antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, namun antara keduanya harus tetap dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. Maka dari itu hubungan agama dan negara yang ideal menurut Nurcholish Madjid adalah bagaimana Islam menjadi sumber ajaran etis dalam bernegara.
Berbagai polemik dan dikotomi pemikiran dan penghayatan keislaman yang terjadi di Indonesia sejak lebih kurang satu abad lalu merefleksikan dinamika umat Islam Indonesia sendiri. Keseluruhan dari gerak atau dinamika sejarah pemikiran umat Islam Indonesia sesungguhnya berada dalam satu koridor sejarah; “Satu Islam beda pemahaman dan satu iman beda jalan” semata.
Catatan kaki :
1Lebih jelas lihat Cliffort Gertz dalam Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1977).
2 Pertama, perkembangan kesadaran keagamaan umat (itu) tidak merupakan evolusi yang lurus, artinya yang kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu, tetapi tumpang-tindih (overlapping). Kedua, tahapan terakhir masih di tangan pribadi dan minoritas kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial, tidak oleh kekuasaan politik. sKeempat, politik sama sekali tidak berperan. Lihat Kuntowidjojo, “Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: UGM, 2001).
3 Amien Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah ( Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. xiii.
4 Selain itu, tesis ketiga dari pemikiran Nurcholish Madjid adalah penolakan terhadap konsep Negara Islam. Tiga tesis dasar dari pemikirannya tersebut mengalami dinamika selama 34 tahun kiprahnya sebagai tokoh utama gerakan pembaruan pemikiran Islam kontemporer.
5 Salah satu penggerak utama dari JIL adalah Ulil Absar Abdalla. Ketokohannya dalam JIL seakan memudarkan pamor lembaga ini sendiri, bahkan bicara tentang Ulil maka akan menyangkut JIL dan begitu juga sebaliknya.
6Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam (Bandung: Zaman, 1998), hlm. 123.
7Wawancara dengan Femina, 3 Juli 1999.
8 Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, op.cit., hlm. 123.
9 Wawancara dengan Femina 3 Juni 1999.
10 Gerg Barto, op.cit., hlm. 85.
11 Nurcholish Majid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 23.
12 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy, Dekonstruksi Islam (Bandung: Zaman, 1999), hlm. 40.
13 Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jkt : Paramadina, 1999), hlm. 14.
14 Ibid., hlm. 62-63.
15 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan …op.cit., hlm. 42.
16 Nurcholish Madjid, “Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi”, Seri KKA Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
17 Nurcholish Madjid, “Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi”, Seri KKA Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
18 Penegasan Nurcholish Madjid ini diadaptasi dari QS. Al Maidah/5: 32. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 192-194.
19 Ibid., hlm. 181. “Sepuluh Wasiat Allah” ini dirangkum Nurcholish Madjid yakni, pertama, tidak musyrik atau menyekutukan Allah dengan hal lainnya, kedua, berbuat baik kepada orang tua, ketiga, jangan membunuh keturunan atas dasar kepentingan duniawi, keempat, menjauhi kejahatan baik yang lahir maupun yang batin, kelima, jangan membunuh manusia tanpa alasan yang haqq (yang dibolehkan agama), keenam, jangan berdekatan dengan harta anak yatim, kecuali lewat cara-cara yang baik, ketujuh, jujur dalam hal jual beli, kedelapan, berlaku yang jujur atau adil meski menginai kerabat sendiri, kesembilan, penuhi janji kepada Allah, kesepuluh, ikutilah jalan lurus dengan teguh (istiqamah), Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181.
20 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 110.
21 Taufik Abdullah, “Negara, Bangsa dan Masyarakat dalam Pendekatan Kebudayaan”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI No. 1 Tahun 2004, hlm. 9.
22 Nurcholish Madjid, “Integrasi Keislaman dalam Keindonesiaan”, Seri KKA Paramadina no. 01/Th. I/1986.
23 Carol. C Gould., Demokrasi Ditinjau Kembali (Yogya: Tiara Wacana,1993), hlm. 145-146.
24 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999)., hlm. 101.
25 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 62.
26 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 252.
27 Nurcholish Madjid, Islam Kerakayatan dan Keindonesiaan, op.cit., hlm. 62.
NURCHOLISH MADJID
Oleh : Iis Sutisna
A. Pendahuluan
Perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran sejak abad ke 19 lalu.Istilah gerakan yang disebut “pembaruan” ini memberi arah dan perspektif keagamaan yang relative berbeda dari pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah.Salah satu ciri utamanya adalah kuatnya pembaruan antara nilai-nilai keislaman dengan tradisi local.Pembaruan itu terjadi akibat proses dialog antara nilai-nilai keislaman dengan kebutuhan modernitas dan aktualisasi zaman umat lewat cara damai (penetration pacifigure) dan mengedepankan konsesi-konsesi budaya masyarakat setempat.1
Dalam periodesasi gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia,ketidak selarasan antara patokan agama yang suci dengan kebiasaan adat yang menyimpang dari syariah Islam,desakan kolonialisme,dan dominannya kekuasaan negra menjadi factor-faktor penentu secara structural.Secara cultural,periodesasi sejarah kesadaran keagamaan umat Islam Indonesia sebagamana disebutkan Kuntowijoyo (1999) terbagi menjadi tiga tingkat,mitos,idiologi dan ilmu.2
Bagamananpun,sebuah perubahan social tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuatan sejarah seperti adanya mobilitas social (social mobility) saja,tapi juga adanya minoritas kreatif (creative minority) dan pribadi kreatif (creative personality) sebagai inisiatornya.Dalam makalah ini lebih ditunjukan kepada pribadi kreatif itu yakni kepada cendekiawan Muslim yang berusaha mempersempit kesenjangan antara “idial Islam” dengan Islam histories; atau antara Islam dalam teori dan Islam dalam praktek.3 Namun,secara keseluruhan gerakan pemikiran itu bermula dari renungan dan pemahaman akan pentingnya kekuatan psikologis (psychological striking force) guna mendobrak kemandegan cara pandang umat terhadap masalah aktual yang dihadapinya.
Sebagai seorang cendekiwan Muslim Indonesia ternama,pemikiran Nurcholish Madjid telah mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman masyarakat Indonesia.Masyrakat Indonesia lebih mengenalnya berkat pidato dalam pertemuan silaturohim pemuda Islam yang tergabung dalam organisasi seperti,HMI,GPI,dan PII .”Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, merupakan pidato penting sekaligus tonggak perubahan pemikiran keislamannya dalam pertemuan tersebut.Ada dua momen sejarah penting sehubungan pidatonya tanggal 3 Januari 1970 itu.Pertama,berakhirnya periodesasi sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam modernisme dan munculnya periodesasi neo-modernisme.Kedua,muali berkuasanya pemerintahan Orde Baru yang secara terang tak mau mengakomodir kepentingan politik Islam.Dalam dua konteks itu,Nurcholish Madjid menyampaikan dalam pidato 3 Januari 1970 tersebut ungkapkan; Islam,Yes,Partai Islam,No,serta menganjurkan sekularisasi pemahaman keislaman masyarakat Muslim Indonesia.4
Pertanyaan utama dalam makalah ini adalah bagaimana meletakan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid dalam dinamika (rekontruksi) sejarah pemikiran umat Islam di Indonesia sehubungan dengan persoalan empiric menyangkut negara termasuk didalamnya masalah dasar negara,pluralisme masyarakat,dan cita-cita keadilan social.Batasan akhir dari penulisan ini tahun 2004 diambil karena menjadi antiklimaks pemikiran Nurcholish Madjid dari seorang pemikir idialis ke praktis politikn lewat pencalonan dirinya sebagai presiden dalam Konvensi Partai Golkar.5
B. Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Jombang,Jawa Timur 17 Maret 1939 dan wafat 29 Agustua 2005 karena sakit.Ia merupakan anak terua pasangan K.H.Abdul Madjid dan Fathonah.Keluarga ini memiliki hubungan erat dengan pemimpin NU,K.H.Hasyim Asy’ari.
Nurcholish Madjid sejak umur 6 tahun telah belajar agama dengan sang ayah di Madrasah Wathaniyah milik mereka dan Sekolah Rakyat di kampungnya.Setamat SR tahun 1952,untuk sementara ia belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rojoso yang berhaluan tradisional.Namun perkembangan politik tajun 1952 dengan keluarnya NU dari Masyumi berdampak pada pergaulannya di Darul Ulum.
K.H.Abdul Madjid yang teguh menjalankan wasiat K.H.Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi satu-satunya partai umat Islam,berada dalam dilemma politik apakah tetap di Masyumi atau menyebrang ke NU yang dihuni sebagian besar para ulama tradisional yang juga para sahabatnya.Tapi,akhirnya ia memutuskan ibertahan dim partai modernis ini,begitu juga sang istri yang menjadi juru kampanye partai tahun 1955.6
Akibat dari sikap politik yang bersebrangan ini keluarga Nurcholish Madjid dimusuhi oleh sebagian besar keluarga besar NU dan dikucilkan dari pergaulan sekitarnya.Namun ,”dengan cara itulah saya belajar memahami perbedaan pendapat.Asalkan kita yakin pendapat itu benar,jangan takut”,demikian disampaikan Nurcholish Madjid.7 Meskipun begitu,berbagai ejekan dan ledekan sebagai “anak Masyumi kesasar” melukai hatinya dan ini menyebabkan kedua orang tuanya memindahkan sang anak kesekolah lain yang dianggap berhaluan Masyumi,dan pilihan itu jatuh ke Pesantren Darussalam Gontor,Ponorogo,Jawa Timur tahun 1955.8
Gontor memberi Nurcholish Madjid suasana yang lebih liberal,baik dalam memilih penghayatan keagamman NU atau Muhammadiyah maupun dalam partisan politik.Di Pesantren ini juga ia berkenalan dengan system pemahaman Fiqih yang bersifat komparasi antar mazhad.9 Pengayaan bahasa yang tak hanya Arab, tapi juga Inggris, Perancis menjadi menjadi pintu masuk pengetahuanya terhadap literature-literatur modern dan membuka horizon pemikirannya terhadap berbagai tema dunia modern.
Kepergianya belajar ke Chicago University,AS,melanjutkan studi dengan belajar kepada Fazlur Rahman tahun 1978,menjadi titik pengukuhannya sebagai salah satu pemikir neo-modernisme di Indonesia dengan meraih gelar doctor di bidang filsafat Islam tahun 1984.10
Secara keagamaan dan cultural,Nurcholish Madjid tumbuh dan berkembang di lingkungan tradisi ke-NU-an.Kondisi sosial semasa kecilnya bisa dikatakan tak banyak mempengaruhi kepribadian ataupun pemikirannya di kemudian hari.Ia tidak mengalami apa makna penjajahan,baik Belanda atau Jepang,sekalipun mengalami masa pendudukan tahun 1942 – 1945 di waktu berusia 6 tahun.Selain itu,ikatan emosional dan romantisme dirinya terhadap revolusi tidak dialaminya secara dalam dan intens.Gelora patriotisme revolusi pisik (1945-1949) keburu berakhir ketika ia menyadari realita lingkungannya.Eksistensi Nurcholish Madjid sendiri terutama dibentuk oleh kondisi social politik system Orde Lama dan Orde Baru.Kedua system pemerintahan inilah yang menjadi basis dan latar belakang lahirnya pemikiran-pemikirannya,dan hal itu tak bisa dilepaskan dari bagaimana meletakan Islam sebagai agama,cita-cita,dan nilai dalam kerangka negara Indonesia.
C. Pembaharuan Pemikiran Nurcholis Madjid
Dari sudut cultural maka “panggung politik”,yang merupakan konteks social histories dari aktivitas Nurcholish Madjid,dapat pula ditandai oleh adanya tiga gejala intelektual yang tengah berkembang.
Pertama,”keletihan intelektual” yang dihadapi oleh tokoh tua Muslim semacam Natsir,Roem,Hamka dan lain-lain dalam memperjuangakn Negara Islam dan Idiologi Islam.Maka dari itu,cukup dimengerti kritikan terhadap pembaruan pemikiran Nurcholish Madjid tahun 1970-an yang mengusung ide sekulerisasi.Sebelum 1970,sebagian umat Islam,lewat bekas pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Natsir,roem,Prawoto berada dalam suasana frustasi oleh perlakuan Orba.Gagalnya rehabilitasi Masyumi,dan kooptasi pemerintah terhadap Parmusi yang mereka harapkan dapat menjadi saluran politik baru,telah memudarkan harapan mereka selama satu dasa warsa lebih menciptakan masyarakat Islam Indonesia atau lazim disebut Negara Islam Indonesia.Di tengah kondisi perpolitikan nasional yang tidak menguntungkan mereka tersebut,dan pencanangannya program pembangunan yang sekuler sebagai orientasi baru Negara yang mengganti peran idiologi dimana Orba merangkul kelompok-kelompok intelektual Kristen bentukan Ali Murtopo,maka dapat dipahami,di tengah rasa frustasi yang mendalam,sekulerisme dengan segala percabangannya - seperti sekularisasi- ,tetapi memiliki makna pemisahan agama dari Negara menjadi isu sensitive.
Kedua, munculnya antusiasme beragama di kalangan muda Muslim perkotaan. Kemunculan mereka lebih sebagai bagian dari merumuskan bentuk-bentuk ritual dan seremonial keagamaan yang lebih sahih tanpa mencantelkan diri kepada lembaga-lembagan keagamaan mapan personal ulama yang memiliki otoritas ortodoks.Mereka ini berasal dari kelompok santri di luar institusi pendidikan agama Islam resmi semacam pesantren,madrasah atau IAIN.
Ketiga,seiring perkembangan kota,nilai-nilai modernisasi menjadi salah satu daya tarik makna hidup perkotaan.Salah satu cirri utama keberagamaan di era modern oleh masyarakat perkotaan adalah dikotomi antara kemajuan dan kekolotan dan aktualisasi sosial diantara pemeluk agama.
Dalam tiga sosio histories itulah Nurcholish Madjid merasa perlu merevisi pemahaman dan cita sosio-politik Amat Islam dengan pandangan pada ajaran Islam bernilai universal,bersikap terbuka dalam beragama,Islam sebagai agama kemanusiaan dan Islam sebagai agama peradaban.Nilai universal Islam adalah ajaran atau dogma yang memandang bahwa pada dasarnya agma manusia diseluruh alam sama,yakni Al Islam.Al Islam merupakan sikap kepasrahan dan ketundukan sepenuhnya pada Allah sebagai agama manusia sepanjang masa.11 Kepasrahan sepenuhnya pada Allah ini merupakan hasil pencarian kebenaran secara murni dan tulus (hanif).12 Kepasrahan dalam ber-Islam,termanifestasi pada prilaku umat Islam lewat adanya sikap terbuka dalam beragama.
Sikap terbuka ini merupakan penerapan suatu system alternative dalam beragama dengan menekankan toleransi dan kebebasan beribadat,penghargaan kepadawarisan budaya kelompok-kelompok lain dan hak sah pribadi,sikap positif terhadap ilmu pengetahuan,dan kehidupan bebas tahayul.13Penerapan prilaku ini menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya terletak pada kesadaran realita plural masyarakat Indonesia.Kesadaran ini sekaligus merupakan nilai positif dan rahmat Tuhan kepada umat Muslim sebagai perangkat guna mendorong pengayaan budaya bangsa sebagai pertailan sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.14
Nilai Islam sebagai agama kemanusiaan menurut Nurcholish Madjid sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal.Pada dasarnya manusia dalam pandangan Islam hádala baik dan tercipta secara fitrah atau asal suci bersih.15 Ekpresi kepasrahan kepada Yang Maha Cinta (Allah) sebagai keimanan yang personal mesti mewujud dalam sikap cinta sesame manusia sebagai bentuk nilai keuniversalan.Memahami nilai kemanusiaan dalam Islam ini tidak bisa dilepaskan dari makna pidato terakhir Nabi Muhammad saw dalam haji perpisahan (haji wada).16
Menurut pidato perpisahan Nabi merupakan ringkasan aspek etis atau moral dari nilai keislaman mengenai kehidupan bersama dalam wahana politik modern (Negara).Pidato ini sendiri memuat lima prinsip pokok dimensi kemanusiaan dalam Islam,yakni prisip persamaan manusia,hak asasi manusia,tanggung jawab individual,anti penindasan,persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.Penjabaran makna Pidato Perpisahan nabi Muhammad saw itu dipercayai Nurcholish Madjid mempunyai nilai kemanusiaan sama nilainya dengan sepuluh Perintah Tuhan (Musa as) dan Khutbah di Bukit (Isa as).17
Maka dari itu Nurcholis Madjid memahami bahwa,:
“Barangsiapa merugikan seorang pribadi,seperti membunuhnya,
tanpa alasan yang sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia.Dan barangsiapa berbuat baik kepada seseorang,seperti menolong hidupnya,maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia”.18
Al Qur’an sebagai landasan pokok agama Islam juga menurutnya memberi landasan primer ajaran kemanusiaan di atas.Hal tersebut bias dilihat pada QS.Al Maidah ayat 23-27 dan dirumuskan dalam bentuk istilah Nurcholis Madjid “sepuluh wasiat Allah”.Sepuluh wasiat Allah dirangkum Nurcholis Madjid yakni pertama,tidak musyrik atau menyekutukan Allah dengan yang lainnya,kedua,berbuat baik kepada orang tua,ketiga,jangan membunuh keturunan atas kepentingan duniawi,keempat,menjauhi kejahatan baik yang lahir maupun batin,kelima,jangan membunuh manusia tanpa alasan yang haqq (yang dibolehkan agama),keenam,jangan berdekatan dengan harta anak yatim,kecualilewat cara-cara yang baik,ketujuh,jujur dalam hal jual beli,kedelapan,berlaku yang jujur atau adil meski mengenai kerabat sendiri,kesembilan,penuhi janji kepada Allah,kesepuluh,ikutilah jalan lurus dengan teguh (istiqomah).19
Islam sebagai agama peradaban,lebih terarah pada penghayatan iman dalam prilaku sosial setiap muslim.Ajaran Islam mewujud nyata secara etis dan moral dalam prilaku individu.Dalam kontek sebagai agama peradaban,umat Islam tidak boleh bersifat formalistik ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,tetapi lebih mementingkan sisi substansial ajaran agamanya secara etis.20
Secara stuktural,”panggung publik” Nurcholish Madjid terbentuk oleh dua kenyataan histories.Pertama ialah runtuhnya system Orde Lama dan naiknya Orde baru yang memakai paradigma consensus,dimana Negara menjadikan dirinya sebagai personifikasi bangsa dan meniadakan peran masyarakat.21 Lebih dari itu,Orde Baru pun memberlakukan perbedaan sebagai hal yang perlu direduksi dengan adanya “penyeragaman nilai” atau the homogenization of all values.Idiologi untuk waktu yang cukup lama menjadi “panglima” diganti oleh kata “pembangunan” dan diatasnyapun terpampang sebuah rangka yang disebut “kestabilan” Bagi para “idiolog” Orde Baru,pembangunan akan berjalan dengan baik jika didasarkanadanya stabilitas nasional,baik dalam hal politik,ekonomi,budaya,bahkan pemikiran.Dan atas nama stabilitas nasional itu pula konflik atau perbedaan pemikiran menjadi hal tabu dan terlarang,apalagi perbedaan itu menyangkut kepentingan pengusa rezim.Kedua, pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya makin mengukuhkan jalinan perubahan structural dalam masyarakat,kehidupan kota dengan segala corak diferensiasi dan spesialis kerja,tingginya tingkat mobilitas geografis,dan berjamurnya sekolah-sekolah serta pusat-pusat pendidikan.
Kota seperti Jakarta,misalnya,bahkan telah menjadi miniature Indonesia,tempat segala jenis suku bangsa bertemu dengan segala kepentingan dan kebutuhan.Pembangunan kota yang telah dimulai sejak awal abad ke 20 di masa Orde Baru makin menggemerlapkan dirinya dengan pembangunan yang bersifat fisik,sehingga makin menggeser peran komunitas pedesaan sebagai tempat berlangsungnya perubahan arena tuntutan akan lahan dan tenaga kerja.
Situasi peralihan dan perubahan masyarkat yang bersifat structural ini adalah dua dinamika yang saling berkaitan.Dan dari dua situasi itu juga,Nurcholish Madjid meletakan pemikirannya pada pemahaman akan keindonesiaan an sich,jauh dari apa yang diperjuangkan kelompok Islam di konstituante atau di jalur pembangkangan seperti DI/TII di Jawa Barat atau di Aceh.Bagi Nurcholish Madjid keindonesiaan berjalan beriringan dengan Islam yang menyediakan bahan tanpa batas kepada pengisian nyata nilai-nilai Pancasila.Pancasila sebagai dasar filosofi bernegara memberikan kerangka konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di Indonesia,sehingga relevan dengan masalah bangsa dan Negara.22 Ada dua masalah utama dalam hal ini menurutnya ; demokrasi dan keadilan sosial.
Prisip keadilan sosial berkaitan dengan adanya keadilan ekonomi. Prinsip utama keadilan ekonomi adalah memandang kebebasan positif yang berarti kesamaan hak-hak warga Negara terhadap kondisi social dan material setiap individu sebagai syarat bagi pengembangan dirinya.23 Cita-cita keadilan sosial dalam Negara terkait erat dengan persoalan ekonami kerakyatan.24 Ketidakadilan ekonomi menyebabkan kemiskinan yang parah. Kemiskinan mengakibatkan degradasi moral sehingga membahayakan bagi suatu masyarakat.Islam dalam pandangan Nurcholish Madjid banyak mengajarkan pembelaan terhadap kaum miskin ini.Ide pokok dari pembelaan terhadap kaum lemah ekonomi tersebut ialah bagaimana menghilangkan kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi antara sikaya dan si miskin.25
Kesenjangan ekonomi merupakan akar dari kesenjangan sosial. Islam mengajarkan bahwa tidak boleh terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang,dan menghendaki pemerataan terhadap sumber daya ekonomi untuk kepentingan bersama.26Pelaksanaan prinsip keadilan sosial,yang menjadi tujuan akhir bernegara di Indonesia menghendaki adanya pembagian kekayaan nasional yang lebih merata.27
D. Penutup
Dalam Al Quran, pluralisme sesungguhnya sebuah relitas sosial dan sejarah. Jika Allah mau tentu dijadikannya satu umat saja manusia di bumi ini, tapi itu tidak terjadi. Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa,bersuku agar mereka itu saling mengenal satu sama lain (QS. 49: 13).Atas dasar pemahaman itulah, kini, di Indonesia muncul pemahaman keislaman yang dimotori oleh sekolompok generasi muda muslim,generasi apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai bagian dari sebuah kesadaran kolektif, respon, atau kesaksian zaman dari sebuah generasi yang berada pada masa peralihan; menemukan identitas keislaman kontekstual di satu sisi, sekaligus berada dalam rangka ortodoksi Islam sahih di sisi lainnya
Cita-cita keadilan sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari amal saleh tiap umat Islam di Indonesia.Namun sehubungan dengan tujuan yang sama dalam pembukaan konstitusi Indonesia, Nurcholish Madjid melihat masih perlunya Negara.Sebagai kerangka penjamin cita-cita keadilan sosial itu. Baginya antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, namun antara keduanya harus tetap dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. Maka dari itu hubungan agama dan negara yang ideal menurut Nurcholish Madjid adalah bagaimana Islam menjadi sumber ajaran etis dalam bernegara.
Berbagai polemik dan dikotomi pemikiran dan penghayatan keislaman yang terjadi di Indonesia sejak lebih kurang satu abad lalu merefleksikan dinamika umat Islam Indonesia sendiri. Keseluruhan dari gerak atau dinamika sejarah pemikiran umat Islam Indonesia sesungguhnya berada dalam satu koridor sejarah; “Satu Islam beda pemahaman dan satu iman beda jalan” semata.
Catatan kaki :
1Lebih jelas lihat Cliffort Gertz dalam Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1977).
2 Pertama, perkembangan kesadaran keagamaan umat (itu) tidak merupakan evolusi yang lurus, artinya yang kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu, tetapi tumpang-tindih (overlapping). Kedua, tahapan terakhir masih di tangan pribadi dan minoritas kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial, tidak oleh kekuasaan politik. sKeempat, politik sama sekali tidak berperan. Lihat Kuntowidjojo, “Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: UGM, 2001).
3 Amien Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah ( Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. xiii.
4 Selain itu, tesis ketiga dari pemikiran Nurcholish Madjid adalah penolakan terhadap konsep Negara Islam. Tiga tesis dasar dari pemikirannya tersebut mengalami dinamika selama 34 tahun kiprahnya sebagai tokoh utama gerakan pembaruan pemikiran Islam kontemporer.
5 Salah satu penggerak utama dari JIL adalah Ulil Absar Abdalla. Ketokohannya dalam JIL seakan memudarkan pamor lembaga ini sendiri, bahkan bicara tentang Ulil maka akan menyangkut JIL dan begitu juga sebaliknya.
6Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam (Bandung: Zaman, 1998), hlm. 123.
7Wawancara dengan Femina, 3 Juli 1999.
8 Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, op.cit., hlm. 123.
9 Wawancara dengan Femina 3 Juni 1999.
10 Gerg Barto, op.cit., hlm. 85.
11 Nurcholish Majid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 23.
12 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy, Dekonstruksi Islam (Bandung: Zaman, 1999), hlm. 40.
13 Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jkt : Paramadina, 1999), hlm. 14.
14 Ibid., hlm. 62-63.
15 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan …op.cit., hlm. 42.
16 Nurcholish Madjid, “Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi”, Seri KKA Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
17 Nurcholish Madjid, “Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi”, Seri KKA Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
18 Penegasan Nurcholish Madjid ini diadaptasi dari QS. Al Maidah/5: 32. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 192-194.
19 Ibid., hlm. 181. “Sepuluh Wasiat Allah” ini dirangkum Nurcholish Madjid yakni, pertama, tidak musyrik atau menyekutukan Allah dengan hal lainnya, kedua, berbuat baik kepada orang tua, ketiga, jangan membunuh keturunan atas dasar kepentingan duniawi, keempat, menjauhi kejahatan baik yang lahir maupun yang batin, kelima, jangan membunuh manusia tanpa alasan yang haqq (yang dibolehkan agama), keenam, jangan berdekatan dengan harta anak yatim, kecuali lewat cara-cara yang baik, ketujuh, jujur dalam hal jual beli, kedelapan, berlaku yang jujur atau adil meski menginai kerabat sendiri, kesembilan, penuhi janji kepada Allah, kesepuluh, ikutilah jalan lurus dengan teguh (istiqamah), Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181.
20 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 110.
21 Taufik Abdullah, “Negara, Bangsa dan Masyarakat dalam Pendekatan Kebudayaan”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI No. 1 Tahun 2004, hlm. 9.
22 Nurcholish Madjid, “Integrasi Keislaman dalam Keindonesiaan”, Seri KKA Paramadina no. 01/Th. I/1986.
23 Carol. C Gould., Demokrasi Ditinjau Kembali (Yogya: Tiara Wacana,1993), hlm. 145-146.
24 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999)., hlm. 101.
25 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 62.
26 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 252.
27 Nurcholish Madjid, Islam Kerakayatan dan Keindonesiaan, op.cit., hlm. 62.
Tujuan Pendidikan Versi Imam Gojali
PENDAHULUAN
Imam Ghazaly sebagai ahli filosof, ahli agama dan reformer masyarakat yang memahami bahwa pendidikan yang benar adalah suatu media untuk mempublisir atau menyebarluaskan keutamaan dikalangan umat manusia, supaya lebih baik. Imam Ghazaly menaruh perhatian akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan, karena pendidikan adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan umat manusia kepada Allah SWT. Imam Ghazaly banyak menulis karya-karya yang sangat penting diantaranya Ihya Ulumudin, Fatihatul Ulum dan ayyuhal Walad. Dalam kitab-kitab itu tercermin berbagai pendapat yang terpenting dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Mempelajari Al Ghazaly membuat kita menjadi jelas bahwa pendapatnya dalam bidang pendidikan dapat memberi jawaban yang lengkap serta filsafatnya tentang agam dan tasawuf. Beliau membatasi bahwa tujuan pendidikan harus sesuai dengan filsafat ini, dan menjelaskan berbagai ilmu pengetahuan yang harus dipelajari untuk dapat mencapai tujuan dan meletakan sistim pendidikan yang sempurna yang dibatasi oleh filsafat tasawufnya dan ditegaskan oleh pola-polanya. Beliau menjelaskan bahwa proses pendidikan itu sebenarnya hanya suatu proses dimana naluri fitrah manusia dan lingkungan hidupnya. Dalam hal ini Al Ghazaly termasuk salah seorang yang menyerukan agar ilmu itu dijadikan suatu kebutuhan yang mutlak bagi setiap orang lantaran beliau beranggapan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.
II. TELAAH PUSTAKA
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan berarti apa yang ingin dicapai dengan pendidikan. Masalahnya adalah, manusia yang bagaimanakah yang ingin dibentuk melalui pendidikan. Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan-tujuan ini diperintahkan oleh tujuan-tujuan akhir yang ada esensinya ditentukan oleh masyarakat, dan dirumuskan secara ringkas dan padat, seperti kematangan dan integritas atau kesempurnaan pribadi dan terbentuknya kepribadian muslim. Tujuan pendidikan (Hasan Langgulung,1990 : ix) Yaitu Insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt dan Insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya (jasmani, kejiwaan, rohani yang luhur) merealisasikan atau mencerminkan ajaran islam baik tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup dan kepercayaannya, bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup setiap orang musllim, adapun tujuan hidup seorang muslim adalah menghamba atau ibadah kepada Allah SWT (Ahmad D. Marimba, 1981:46).
Menurut Fadlil Al-jamaly tujuan pendidikan islam yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Mengenalkan manusia akan peranannya diantara sesama mahluk dan tanggung jawab pribadinya didalam hidup ini.
2. Mengenalkan manusia akan interaksi social dan tanggungjawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3. Mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajar mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut.
4. Mengenalkan manusia kepada Allah dan memerintahkan beribadah kepadanya ( Al-Jamaly, 1986:3).
Drs. Burlian Somad mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam itu ialah membentuk individu bercorak diri dan berderajat tertinggi menurut ukuran Agama. Lebih lanjut menyatakan tujuan pendidikan islam itu harus sama dan sebangun dengan tujuan hidup manusia. Sebagaimana firman Nya dalam (QS. Az-Zariat :56) “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku”.
Opini Drucker tentang arti penting pendidikan sebagai sumber kemajuan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup masyarakat Negara-negara maju, kiranya berlaku pula bagi masyarakat di Negara-negara sedang berkembang. Munculnya Negara-negara baru dikawasan Asia Afrika setelah PD II, mengharuskan kesediannya tenaga professional diberbagai bidang pemerintahan dan pembangunan, yang secara efektif dibina melalui pendidikan.
III. PEMBAHASAN
A. Mengenal Imam Al-Ghazaly
a. Sejarah Hidupnya
Al-Ghazaly nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazaly Al-Thusi. Dilahirkan tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, Propinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Ia adalah keturunan Persia yang orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya orang tuanya hanya mau makan dari hasil usaha sendiri dari menenun kain Wol. Dan juga terkenal pencinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Sayang usianya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai dengan doanya. Sebelum meninggal ia sempat menitipkan Al-Ghazaly bersama saudaranya, Ahmad kepada seorang sufi sahabatnya untuk dididik dan dibimbingnya untuk mempelajari ilmu agama. Tetapi hal ini tidak berjalan lama karena harta warisan yang ditinggalkan untuk bekal hidup kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani hidup sufistik yang sederhana dan tidak mampu. Maka Al Ghazaly dan saudaranya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi muridnya. Disini Al-Gazaly bertemu dengan yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi terkenal pada masa itu, dan disini pula sebagai titik awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi seorang ulama besar. Sepeninggal gurunya, Ghazaly belajar di Thus pada seorang ulama Ahmad ibnu Muhammad Al-Razakanya Al-Thusi. Selanjutnya ia juga belajar pada Abu Nashr Al-Ismaily di Jurjan dan masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al-Juwaini Al-Haramain. Dari beliau Ghazaly belajar ilmu kalam , ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Dari penganut mazhab safii inilah Ghazaly memperoleh ilmu pengetahuan, ilmu fiqih, ilmu kalam dan logika.
Karena kecerdasan yang dimilikinya semua ilmu tersebut dapat dikuasai dalam waktu yang singkat, bahkan Ghazaly sempat menampilkan perdananya dalam bidang ilmu fiqih Mankhul fiilmi al usul. Selain itu, Ghazaly belajar teori dan praktik tasawuf kepada Abu Ali Al-Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Al-Farmadi, dengan demikian semakin lengkap ilmu yang diterima selama di Naisabur. Di sekolah Nishamiyah ia diangkat menjadi Dosen pada usia 25 tahun. Ditengah-tengah kesibukannya mengajar beliau sempat mengarang sejumlah kitab diantaranya: Al Basith, Al-Wasith, Al-Wajid, Khulasah ilmu Fiqih, dan lain sebagainya.
Kemudian setelah gurunya Al-Juwaini wafat, Al-Ghazaly pindah ke Muaskar dan berhubungan baik dengan Nizham Al-Mulk, Persana menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di sekolah Nizhamiyah Bagdad. Di kota bagdad beliau semakin popular, kelompok pengajian semakin luas, di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah Ismailiyah dan kaum filosof. Pada periode ini ia menderita krisis rohani sebagai akibat kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang barat dikenal dengan skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya untuk mengobatinya. Kemudian beliau meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rector dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami Damaskus ia mengisolasi diri untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098 M ia menuju Palestina berdoa disamping kuburan Nabi Ibrohim a.s kemudian ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan Ibadah Haji dan berziarah ke makam Rasullullah Muhammad Saw dan setelah itu beliau terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.
Setelah dari penyakit rohaninya, Al-Ghazaly kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizam Al-Mulk. Setelah perdana menteri wafat, Ghazaly ke daerah kelahirannya di Thus, disana ia membangun Madrasah Khan-kah tempat mengajar tasawuf. Usaha ini beliau lakukan sampai ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 18 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan di makamkan disebelah benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair Al-Firdausy.
Beberapa karya Ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat islam diantaranya:
1. Ihya Ulum al-din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kitab-kitab suluk.
2. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliran al-Asy’ariah.
3. Maqasid al-Falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.
4. Tahafut al-Falasifat, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran yang penting dan dikaji secara kritis kemudian dijelaskan kelebihan dan kekurangannya.
5. Mizan al-amal, didalamnya berisikan penjelasan tentanng akhlak.
B. Tujuan Pendidikan Menurut Imam Al-Ghazaly
Ada dua tujuan pendidikan menurut Al-Ghazaly dalam buku Fathiyah Hasan Sulaeman alih bahasa Drs.Fathur Rahman May dan Drs.Syamsuddin Ashrafi adalah:
1. Insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan menurut Al-Ghazaly ada dua sasaran pokok yaitu:
2. Aspek-aspek ilmu pengetahuan yang harus disampaikan kepada murid atau dengan kata lain kurikulum yang harus dipelajari murid.
3. metode yang relevan untuk menyampaikan kurikulum atau silabus sehingga dapat memberikan pengertian yang sempurna dan memberikan faedah yangn besar tentang penggunaan metode tersebut.
Oleh karena itu Al-Ghazaly ingin mengajar umat manusia sehingga mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan. Ciri khas pendidikan islam secara umum yaitu sifat moral religiusnya yang nampak jelas dalam tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun sarana-sarananya, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Secara umum pendapat Imam Ghazaly ini sesuai dengan aspirasi pendidikan Islam yang bernafaskan agama dan moral. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut Imam Ghazaly adalah pembentukan insan purna, baik di dunia maupun diakhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan Padhillah (Perbuatan utama) melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
Imam Ghazaly menggariskan tujuan pendidikan itu sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, artinya sesuai dengan filsafat hidupnya. Kemudian beliau menciptakan sebuah kurikulum yang ada hubungannya dengan target dan maksud pendidikan. Karena itu beliau menyusun Bab-Bab tentang ilmu pengetahuan, mengklasipikasikan, memberi penilaian dan menjelaskan beberapa faedahnya bagi seorang murid. Kemudian menyusun dan mensistimatisir ilmi-ilmu tadi sesuai dengan kepentingan dan kegunaannya.
Jadi tujuan pendidikan ini adalah membinan insane paripurna yang taqorrub kepada Allah bahagian di dunia dan di akhirat. Tidak dapat dilupakan pula orang yang mengikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang dipelajarinya dan kelezatan ini pula dapat mengantarkannya kepada pembentukan insane paripurna.
C. Bidang Studi
Untuk memilih bidang studi yang sejalan dengan tujuan pendidikan dan bahkan yang menolong dalam pencapainnya, Imam Ghazali mengklasifisir ilmu pengetahuan menjadi beberapa rumpun kelompok dan cabang dengan mengistimewakan masing-masing berdasarkan sifat yang berbeda satu sama lain dan memberikan penilaian sesuai dengan kepentingannya bagi seorang siswa. Kemudian setelah itu beliau menjelaskan beberapa ilmu yang harus dijadikan bekal oleh seorang siswa agar dapat mencapai target yang telah dirumuskannya.
Ilmu-ilmu pengetahuan menurut Imam Ghazaly dapat dibagi menjadi tiga rumpun utama, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak yaitu ilmu pengetahuan yang tidak dapat diharapkan kegunaannya di dunia apalagi diakhirat. Seperti ilmu sihir, tulisan Azimat ilmu nujum dan ilmu falaq.
2. Ilmu yang terpuji secara mutlak ialah pelajaran-pelajaran agama dan berbagai macam ibadah ilmu pengetahuan tersebut dapat mensucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, membantu mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, berusaha dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Serta mencari ridhonya dan mempersiapkan dunia ini untuk kehidupan kekal di akhirat.
3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji adalah pengetahuan yang sekiranya manusia mendalami dan mempelajarinya menyebabkan kekacauan pikiran dan keraguan. Seperti ilmu ketuhanan (kepercayaan), cabang dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme.
Menurut Imam Ghazaly hukum mempelajarinya Fardhu Ain (dibebankan kepada setiap muslim), ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, yang dimulai degan Al-Quran kemudian ilmu ibadat dasar, seperti sholat, puasa, zakat dan lain sebagainya, ilmu pengetahuan tersebut merupakan ilmu untuk mengetahui cara mengamalkan yang wajib. Adapun ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya Fardhu Kifayah, yaitu setiap ilmu yang diperlukan dalam rangka menegakan urusan duniawi misalnya: ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu teknik, pertanian dan industri. . Dari segi kekhususannya Imam Ghazaly membagi ilmu pengetahuan membagi ilmu syariat dan ilmu ghair (bukan syariat).
Ilmu syariat dibagi menjadi empat macam:
4. Ilmu Ushul (Ilmu Pokok) ada empat macam yaitu kitabullah (Al-Quran), Sunnah Rasulullah, Ijma (consensus ulama atau sahabat Nabi) dan atsar sahabat (petunjuk dan nasehat sahabat)
5. Ilmu Furu (Ilmu Cabang) yaitu ilmu fiqih ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup didunia, Ilmu hal ihwal hati dan akhlaqnya (baik yang terpuji maupun tercela).
6. Ilmu Muqaddimah (Ilmu Pengantar) seperti ilmu lughoh (bahasa) dan ilmu nahu (Gramatika).
7. Ilmu Pelengkap seperti Ilmu Makharjil-Huruf wal-Alfazh (Tempat keluar hurup dan kata) dan ilmu Qira’at, ilmu tafsir (bersangkutan dengan makna Al-Quran.
Adapun Ilmu Ghair (bukan syariat) dibagi menjadi tiga bagian yatiu:
1. Ilmu terpuji (Mahmudah) seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu ekonomi.
2. Ilmu yang diperbolehkan (Mubahat) yaitu Ilmu kebudayaan, (sastra, sejarah).
3. Ilmu tercela (Madzmumah) seperti ilmu sihir, mantera-mantera, tulisan Azimat.
D. Metode Pengajaran Menurut Imam Ghazaly
Imam Ghazali tidak mengemukakan suatu metode pengajaran tertentu dalam karya tulisnya yang beraneka ragam teentang pendidikan, melainkan dalam pengajaran agama saja. Beliau telah menetapkan methode khusus pengajaran agama bagi anak-anak, Imam Al-Ghazaly menjelaskan tentang Ath-Thariqatul Mutsla, untuk mendidik moral anak-anak, menyempurnakannya dengan akhlak yang terpuji dan menghiasinya dengan tindak laku utama. Berkaitan dengan metode pengajaran secara umum beliau mengemukakan prinsip-prinsip tertentu dan langkah-langkah khusus dan diikuti oleh seorang guru ketikan tugas mengajar.
Imam Ghazali menjelaskan bahwa metode penyajian dalil-dalil dan tanda-tanda bukti kebenaran yang dilakukan oleh guru adalah menguatkan hakekat agama dan menetapkan dasar-dasar pendidikan itu sendiri. Metode ini tidak didasarkan atas diskusi dan perdebatan, metode tersebut didasarkan kepada memperbanyak pembacaan Al-Qur’an, Tafsir, Hadits dan menekuni segala macam ibadah, dimulai dengan menghafal serta memahami kemudian meyakini dan membenarkannya setelah itu baru ditegakan dengan bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat membantu untuk memantapkan keyakinan tersebut, dengan langkah pertama menanamkan keyakinan dan keimanan, kemudian langkah berikutnya menguatkannya dengan dalil logika dan argumentasi yang jitu.
Proses pendidikan merupakan suatu aktivitas yang menuntut adanya hubungan yang erat antara seseorang dengan lainnya, yakni seorang guru dengan murid. Oleh karena itu beliau melukiskan masing-masing tentang guru dan murid yang idealis dan harus dipraktekan oleh guru kepada muridnya, baik pada waktu mengajar maupun berhubungan dengan murid dalam urusan kemasyarakatan.
Imam Ghazaly menyamakan keberhasilan ilmu dengan terhimpunnya harta kekayaan, artinya baik orang yang berhasil memperoleh ilmu maupun orang berhasil mengumpulkan harta kekayaan berada didalam 4 jenis berikut ini:
1. Orang yang berhasil memperoleh harta kekayaan atau ilmu lalu disimpannya, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan apapun juga.
2. Orang yang menyimpan harta kekayaan atau ilmu sebanyak-banyaknya untuk dimanfaatkan sendiri, sehingga ia tidak perlu meminta-minta.
3. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dimanfaatkan atau dinafkahkan sendiri.
4. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dinafkahkan atau dengan menyebarkan ilmunya untuk menolong orang lain.
Imam Ghazaly beranggapan bahwa guru itu adalah bagaikan penjaga ilmu yang terpercaya. Oleh karena itu beliau berpendapat bahwa diantara kewajiban guru tidak menyalah gunakan ilmu dan tidak menyampaikannya kepada murid tanpa perhitungan apakah murid itu dapat menerimanya atau tidak. Sesuai firman Allah SWT dalam surat An-Nisa:5 “ Janganlah kamu berikan kepada anak yang masih bodoh harta miliknya, yang kamu dijadikan Tuhan sebagai pemeliharanya”.
Sifat-sifat yang dianggap oleh Imam Ghazaly sebagai sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid ada sepuluh macam, yang disebut dengan wazhaif (tugas-tugas) murid ialah:
1. Manakala belajar itu merupakan salah satu bagian dari ibadah lantaran bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Filsafat Imam Ghazaly bahwa sifat yang diharapkan oleh murid hendaknya menjauhi sedapat mungkin urusan keduniaan dan menguranginya. Sebab melibatkan diri dalam urusan keduniaan dengan segala seluk beluknya kadang-kadang dapat melalaikan dari usaha mencari ilmu.
3. Beliau juga mengokohkan sifat tasawuf yakni sifat rendah hati, yang wajib dilakukan oleh setiap siswa yaitu siswa tidak berbangga diri dihadapan gurunya atau bahkan sombong dengan ilmunya.
4. Agar akal dan pikiran siswa tidak menjadi kacau pada permulaanya, lantaran sesuatu yang kadang timbul akibat dari usaha mendalami ilmu pengetahuan yang berlawanan dan aneka ragam pendapat yang tidak jelas, hendaknya siswa menjaga diri dari pendapat yang berlawanan antara satu aliran dengan aliran yang lain dan dari melibatkan diri dari perdebatan atau diskusi dengan para ilmuan, sehingga membuat siswa bingung dan kacau.
5. Jika ragam ilmu pengetahuan berkaitan satu sama lain kadang-kadang ketidaktahuan sebagiannya dapat melemahkan usaha mempelajari yang lain, sehingga seorang siswa tidak mengabaikan mempelajari satu ilmu dari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu duniawi yang memungkinkan dapat mengetahui tujuan dan pokok bahasannya.
6. Imam Ghazaly berpendapat bahwa perjenjangan pelajaran itu perlu karena seorang siswa hendaknya bertahap dalam mempelajari ilmu pengetahuan tidak mempelajarinya sekaligus. Yaitu dimulai dari pengetahuan agama lalu mempelajari ilmu pengetahuan yang lainnya menurut kebutuhannya.
7. Imam Ghazaly beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu terdapat perjenjangan secara alami, hingga mempelajari sebagian ilmu dapat juga sampai kepada ilmu berikutnya sesuai dengan sistematika dan jenjang ilmu pengetahuan tersebut.
8. Imam Ghazaly menilai ilmu pengetahuan pada sisi lain dalam nasehat yang disampaikan pada siswa, yaitu agar siswa mengenal nilai ilmu penngetahuan yang dipelajarinya, kelebihan ilmu itu daripada ilmu lainnya dan hasil kongkrit yang dicapai dari mempelajarinya.
9. Imam Ghazaly menjelaskan kepada siswa bahwa tujuan mempe;ajari suatu ilmu itu untuk lebih mengutamakan ilmu pengetahuan agama ketimbang ilmu keduniaan.
10. Imam Ghazaly menguatkan pendiriannya bahwa seorang siswa harus mengetahui nilai-nilai ilmu pengetahuan dari segi manfaatnya, beliau menilai bahwa ilmu agama adalah ilmu yang paling bermanfaat sebab dapat membawa kepada kebahagiaan abadi.
Imam Ghazaly berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan kepada anak sedini mungkin, sebab seorang anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama dan mengimankan saja tidak dituntut untuk mencari dalilnya, atau tidak dianjurkan untuk menetapkan dan membuktikannya. Pendidikan agama itu dimulai dengan menghafal serta memahami kemudian meyakini dan membenarkannya. Setelah itu baru ditegakan dengan bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat membantu untuk memantapkan keyakinan tersebut.
IV. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan agama dengan berbagai ragamnya adalah ilmu pengetahuan yang utama, karena ilmu tersebut dapat dicapai melalui kesempurnaan akal dan kejernihan pikiran.. Manfaat umumnya tidak diragukan, karena buahnya berupa kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan proporsi akal, bagaimana akan diragukan, sedang seorang guru bertindak dalam bidang budi pekerti dan kejiwaan. Apa yang telah dikemukakan di atas menjadi bukti tegas bahwa Imam Ghazaly mengklasifisir dan mensistimatisir ilmu sesuai dengan kebutuhan dan urgensinya bagi seorang murid dan sesuai dengan nilai-nilai yang berbeda yang terdapat dalam ilmu itu. Beliau menilai bobot ilmu pengetahuan itu sesuai dengan standarisasi nyata yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sejauh mana manfaat ilmu itu bagi umat manusia dalam kehidupan beragamanya, baik didunia maupun diakhirat dari segi mensucikan jiwa, memperindah budi pekerti, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan mempersiapkan untuk kehidupan yang kekal abadi.
2. sejauh mana manfaatnya bagi manusia dari segi keharusan adanya dan sumbangannya terhadap ilmu Agama
3. sejauh mana manfaatnya bagi manusia dalam kehidupan di dunia.
4. sejauh mana manfaatnya dari segi kebudayaan dan dampak positif ilmu itu dalam mewarnai pola kehidupan masyarakat.
DAPTAR PUSTAKA
Sulaman, Hasan Fatiah. Sistim Pendidikan Versi Al Ghazaly, alih bahasa Fathurrahman,Drs. Bandung PT. Al-Maarif . 1986.
Zar Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya.
Soebahar Abd.halim. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Bandung Kalam Mulia. 2002
Ihsan Hamdani. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung Pustaka setia. 1998
A.Mukti Ali. Memahami Beberapa Asfek ajaran Islam. Bandung. Mizan. 1990
Marimba D.Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung PT.Al-Ma’arif 1980
Imam Ghazaly sebagai ahli filosof, ahli agama dan reformer masyarakat yang memahami bahwa pendidikan yang benar adalah suatu media untuk mempublisir atau menyebarluaskan keutamaan dikalangan umat manusia, supaya lebih baik. Imam Ghazaly menaruh perhatian akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan, karena pendidikan adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan umat manusia kepada Allah SWT. Imam Ghazaly banyak menulis karya-karya yang sangat penting diantaranya Ihya Ulumudin, Fatihatul Ulum dan ayyuhal Walad. Dalam kitab-kitab itu tercermin berbagai pendapat yang terpenting dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Mempelajari Al Ghazaly membuat kita menjadi jelas bahwa pendapatnya dalam bidang pendidikan dapat memberi jawaban yang lengkap serta filsafatnya tentang agam dan tasawuf. Beliau membatasi bahwa tujuan pendidikan harus sesuai dengan filsafat ini, dan menjelaskan berbagai ilmu pengetahuan yang harus dipelajari untuk dapat mencapai tujuan dan meletakan sistim pendidikan yang sempurna yang dibatasi oleh filsafat tasawufnya dan ditegaskan oleh pola-polanya. Beliau menjelaskan bahwa proses pendidikan itu sebenarnya hanya suatu proses dimana naluri fitrah manusia dan lingkungan hidupnya. Dalam hal ini Al Ghazaly termasuk salah seorang yang menyerukan agar ilmu itu dijadikan suatu kebutuhan yang mutlak bagi setiap orang lantaran beliau beranggapan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.
II. TELAAH PUSTAKA
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan berarti apa yang ingin dicapai dengan pendidikan. Masalahnya adalah, manusia yang bagaimanakah yang ingin dibentuk melalui pendidikan. Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan-tujuan ini diperintahkan oleh tujuan-tujuan akhir yang ada esensinya ditentukan oleh masyarakat, dan dirumuskan secara ringkas dan padat, seperti kematangan dan integritas atau kesempurnaan pribadi dan terbentuknya kepribadian muslim. Tujuan pendidikan (Hasan Langgulung,1990 : ix) Yaitu Insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt dan Insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya (jasmani, kejiwaan, rohani yang luhur) merealisasikan atau mencerminkan ajaran islam baik tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup dan kepercayaannya, bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup setiap orang musllim, adapun tujuan hidup seorang muslim adalah menghamba atau ibadah kepada Allah SWT (Ahmad D. Marimba, 1981:46).
Menurut Fadlil Al-jamaly tujuan pendidikan islam yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Mengenalkan manusia akan peranannya diantara sesama mahluk dan tanggung jawab pribadinya didalam hidup ini.
2. Mengenalkan manusia akan interaksi social dan tanggungjawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3. Mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajar mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut.
4. Mengenalkan manusia kepada Allah dan memerintahkan beribadah kepadanya ( Al-Jamaly, 1986:3).
Drs. Burlian Somad mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam itu ialah membentuk individu bercorak diri dan berderajat tertinggi menurut ukuran Agama. Lebih lanjut menyatakan tujuan pendidikan islam itu harus sama dan sebangun dengan tujuan hidup manusia. Sebagaimana firman Nya dalam (QS. Az-Zariat :56) “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku”.
Opini Drucker tentang arti penting pendidikan sebagai sumber kemajuan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup masyarakat Negara-negara maju, kiranya berlaku pula bagi masyarakat di Negara-negara sedang berkembang. Munculnya Negara-negara baru dikawasan Asia Afrika setelah PD II, mengharuskan kesediannya tenaga professional diberbagai bidang pemerintahan dan pembangunan, yang secara efektif dibina melalui pendidikan.
III. PEMBAHASAN
A. Mengenal Imam Al-Ghazaly
a. Sejarah Hidupnya
Al-Ghazaly nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazaly Al-Thusi. Dilahirkan tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, Propinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Ia adalah keturunan Persia yang orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya orang tuanya hanya mau makan dari hasil usaha sendiri dari menenun kain Wol. Dan juga terkenal pencinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Sayang usianya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai dengan doanya. Sebelum meninggal ia sempat menitipkan Al-Ghazaly bersama saudaranya, Ahmad kepada seorang sufi sahabatnya untuk dididik dan dibimbingnya untuk mempelajari ilmu agama. Tetapi hal ini tidak berjalan lama karena harta warisan yang ditinggalkan untuk bekal hidup kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani hidup sufistik yang sederhana dan tidak mampu. Maka Al Ghazaly dan saudaranya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi muridnya. Disini Al-Gazaly bertemu dengan yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi terkenal pada masa itu, dan disini pula sebagai titik awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi seorang ulama besar. Sepeninggal gurunya, Ghazaly belajar di Thus pada seorang ulama Ahmad ibnu Muhammad Al-Razakanya Al-Thusi. Selanjutnya ia juga belajar pada Abu Nashr Al-Ismaily di Jurjan dan masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al-Juwaini Al-Haramain. Dari beliau Ghazaly belajar ilmu kalam , ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Dari penganut mazhab safii inilah Ghazaly memperoleh ilmu pengetahuan, ilmu fiqih, ilmu kalam dan logika.
Karena kecerdasan yang dimilikinya semua ilmu tersebut dapat dikuasai dalam waktu yang singkat, bahkan Ghazaly sempat menampilkan perdananya dalam bidang ilmu fiqih Mankhul fiilmi al usul. Selain itu, Ghazaly belajar teori dan praktik tasawuf kepada Abu Ali Al-Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Al-Farmadi, dengan demikian semakin lengkap ilmu yang diterima selama di Naisabur. Di sekolah Nishamiyah ia diangkat menjadi Dosen pada usia 25 tahun. Ditengah-tengah kesibukannya mengajar beliau sempat mengarang sejumlah kitab diantaranya: Al Basith, Al-Wasith, Al-Wajid, Khulasah ilmu Fiqih, dan lain sebagainya.
Kemudian setelah gurunya Al-Juwaini wafat, Al-Ghazaly pindah ke Muaskar dan berhubungan baik dengan Nizham Al-Mulk, Persana menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di sekolah Nizhamiyah Bagdad. Di kota bagdad beliau semakin popular, kelompok pengajian semakin luas, di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah Ismailiyah dan kaum filosof. Pada periode ini ia menderita krisis rohani sebagai akibat kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang barat dikenal dengan skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya untuk mengobatinya. Kemudian beliau meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rector dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami Damaskus ia mengisolasi diri untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098 M ia menuju Palestina berdoa disamping kuburan Nabi Ibrohim a.s kemudian ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan Ibadah Haji dan berziarah ke makam Rasullullah Muhammad Saw dan setelah itu beliau terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.
Setelah dari penyakit rohaninya, Al-Ghazaly kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizam Al-Mulk. Setelah perdana menteri wafat, Ghazaly ke daerah kelahirannya di Thus, disana ia membangun Madrasah Khan-kah tempat mengajar tasawuf. Usaha ini beliau lakukan sampai ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 18 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan di makamkan disebelah benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair Al-Firdausy.
Beberapa karya Ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat islam diantaranya:
1. Ihya Ulum al-din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kitab-kitab suluk.
2. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliran al-Asy’ariah.
3. Maqasid al-Falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.
4. Tahafut al-Falasifat, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran yang penting dan dikaji secara kritis kemudian dijelaskan kelebihan dan kekurangannya.
5. Mizan al-amal, didalamnya berisikan penjelasan tentanng akhlak.
B. Tujuan Pendidikan Menurut Imam Al-Ghazaly
Ada dua tujuan pendidikan menurut Al-Ghazaly dalam buku Fathiyah Hasan Sulaeman alih bahasa Drs.Fathur Rahman May dan Drs.Syamsuddin Ashrafi adalah:
1. Insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan menurut Al-Ghazaly ada dua sasaran pokok yaitu:
2. Aspek-aspek ilmu pengetahuan yang harus disampaikan kepada murid atau dengan kata lain kurikulum yang harus dipelajari murid.
3. metode yang relevan untuk menyampaikan kurikulum atau silabus sehingga dapat memberikan pengertian yang sempurna dan memberikan faedah yangn besar tentang penggunaan metode tersebut.
Oleh karena itu Al-Ghazaly ingin mengajar umat manusia sehingga mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan. Ciri khas pendidikan islam secara umum yaitu sifat moral religiusnya yang nampak jelas dalam tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun sarana-sarananya, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Secara umum pendapat Imam Ghazaly ini sesuai dengan aspirasi pendidikan Islam yang bernafaskan agama dan moral. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut Imam Ghazaly adalah pembentukan insan purna, baik di dunia maupun diakhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan Padhillah (Perbuatan utama) melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
Imam Ghazaly menggariskan tujuan pendidikan itu sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, artinya sesuai dengan filsafat hidupnya. Kemudian beliau menciptakan sebuah kurikulum yang ada hubungannya dengan target dan maksud pendidikan. Karena itu beliau menyusun Bab-Bab tentang ilmu pengetahuan, mengklasipikasikan, memberi penilaian dan menjelaskan beberapa faedahnya bagi seorang murid. Kemudian menyusun dan mensistimatisir ilmi-ilmu tadi sesuai dengan kepentingan dan kegunaannya.
Jadi tujuan pendidikan ini adalah membinan insane paripurna yang taqorrub kepada Allah bahagian di dunia dan di akhirat. Tidak dapat dilupakan pula orang yang mengikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang dipelajarinya dan kelezatan ini pula dapat mengantarkannya kepada pembentukan insane paripurna.
C. Bidang Studi
Untuk memilih bidang studi yang sejalan dengan tujuan pendidikan dan bahkan yang menolong dalam pencapainnya, Imam Ghazali mengklasifisir ilmu pengetahuan menjadi beberapa rumpun kelompok dan cabang dengan mengistimewakan masing-masing berdasarkan sifat yang berbeda satu sama lain dan memberikan penilaian sesuai dengan kepentingannya bagi seorang siswa. Kemudian setelah itu beliau menjelaskan beberapa ilmu yang harus dijadikan bekal oleh seorang siswa agar dapat mencapai target yang telah dirumuskannya.
Ilmu-ilmu pengetahuan menurut Imam Ghazaly dapat dibagi menjadi tiga rumpun utama, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak yaitu ilmu pengetahuan yang tidak dapat diharapkan kegunaannya di dunia apalagi diakhirat. Seperti ilmu sihir, tulisan Azimat ilmu nujum dan ilmu falaq.
2. Ilmu yang terpuji secara mutlak ialah pelajaran-pelajaran agama dan berbagai macam ibadah ilmu pengetahuan tersebut dapat mensucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, membantu mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, berusaha dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Serta mencari ridhonya dan mempersiapkan dunia ini untuk kehidupan kekal di akhirat.
3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji adalah pengetahuan yang sekiranya manusia mendalami dan mempelajarinya menyebabkan kekacauan pikiran dan keraguan. Seperti ilmu ketuhanan (kepercayaan), cabang dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme.
Menurut Imam Ghazaly hukum mempelajarinya Fardhu Ain (dibebankan kepada setiap muslim), ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, yang dimulai degan Al-Quran kemudian ilmu ibadat dasar, seperti sholat, puasa, zakat dan lain sebagainya, ilmu pengetahuan tersebut merupakan ilmu untuk mengetahui cara mengamalkan yang wajib. Adapun ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya Fardhu Kifayah, yaitu setiap ilmu yang diperlukan dalam rangka menegakan urusan duniawi misalnya: ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu teknik, pertanian dan industri. . Dari segi kekhususannya Imam Ghazaly membagi ilmu pengetahuan membagi ilmu syariat dan ilmu ghair (bukan syariat).
Ilmu syariat dibagi menjadi empat macam:
4. Ilmu Ushul (Ilmu Pokok) ada empat macam yaitu kitabullah (Al-Quran), Sunnah Rasulullah, Ijma (consensus ulama atau sahabat Nabi) dan atsar sahabat (petunjuk dan nasehat sahabat)
5. Ilmu Furu (Ilmu Cabang) yaitu ilmu fiqih ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup didunia, Ilmu hal ihwal hati dan akhlaqnya (baik yang terpuji maupun tercela).
6. Ilmu Muqaddimah (Ilmu Pengantar) seperti ilmu lughoh (bahasa) dan ilmu nahu (Gramatika).
7. Ilmu Pelengkap seperti Ilmu Makharjil-Huruf wal-Alfazh (Tempat keluar hurup dan kata) dan ilmu Qira’at, ilmu tafsir (bersangkutan dengan makna Al-Quran.
Adapun Ilmu Ghair (bukan syariat) dibagi menjadi tiga bagian yatiu:
1. Ilmu terpuji (Mahmudah) seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu ekonomi.
2. Ilmu yang diperbolehkan (Mubahat) yaitu Ilmu kebudayaan, (sastra, sejarah).
3. Ilmu tercela (Madzmumah) seperti ilmu sihir, mantera-mantera, tulisan Azimat.
D. Metode Pengajaran Menurut Imam Ghazaly
Imam Ghazali tidak mengemukakan suatu metode pengajaran tertentu dalam karya tulisnya yang beraneka ragam teentang pendidikan, melainkan dalam pengajaran agama saja. Beliau telah menetapkan methode khusus pengajaran agama bagi anak-anak, Imam Al-Ghazaly menjelaskan tentang Ath-Thariqatul Mutsla, untuk mendidik moral anak-anak, menyempurnakannya dengan akhlak yang terpuji dan menghiasinya dengan tindak laku utama. Berkaitan dengan metode pengajaran secara umum beliau mengemukakan prinsip-prinsip tertentu dan langkah-langkah khusus dan diikuti oleh seorang guru ketikan tugas mengajar.
Imam Ghazali menjelaskan bahwa metode penyajian dalil-dalil dan tanda-tanda bukti kebenaran yang dilakukan oleh guru adalah menguatkan hakekat agama dan menetapkan dasar-dasar pendidikan itu sendiri. Metode ini tidak didasarkan atas diskusi dan perdebatan, metode tersebut didasarkan kepada memperbanyak pembacaan Al-Qur’an, Tafsir, Hadits dan menekuni segala macam ibadah, dimulai dengan menghafal serta memahami kemudian meyakini dan membenarkannya setelah itu baru ditegakan dengan bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat membantu untuk memantapkan keyakinan tersebut, dengan langkah pertama menanamkan keyakinan dan keimanan, kemudian langkah berikutnya menguatkannya dengan dalil logika dan argumentasi yang jitu.
Proses pendidikan merupakan suatu aktivitas yang menuntut adanya hubungan yang erat antara seseorang dengan lainnya, yakni seorang guru dengan murid. Oleh karena itu beliau melukiskan masing-masing tentang guru dan murid yang idealis dan harus dipraktekan oleh guru kepada muridnya, baik pada waktu mengajar maupun berhubungan dengan murid dalam urusan kemasyarakatan.
Imam Ghazaly menyamakan keberhasilan ilmu dengan terhimpunnya harta kekayaan, artinya baik orang yang berhasil memperoleh ilmu maupun orang berhasil mengumpulkan harta kekayaan berada didalam 4 jenis berikut ini:
1. Orang yang berhasil memperoleh harta kekayaan atau ilmu lalu disimpannya, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan apapun juga.
2. Orang yang menyimpan harta kekayaan atau ilmu sebanyak-banyaknya untuk dimanfaatkan sendiri, sehingga ia tidak perlu meminta-minta.
3. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dimanfaatkan atau dinafkahkan sendiri.
4. Orang yang berhasil memperoleh ilmu atau harta kekayaan untuk dinafkahkan atau dengan menyebarkan ilmunya untuk menolong orang lain.
Imam Ghazaly beranggapan bahwa guru itu adalah bagaikan penjaga ilmu yang terpercaya. Oleh karena itu beliau berpendapat bahwa diantara kewajiban guru tidak menyalah gunakan ilmu dan tidak menyampaikannya kepada murid tanpa perhitungan apakah murid itu dapat menerimanya atau tidak. Sesuai firman Allah SWT dalam surat An-Nisa:5 “ Janganlah kamu berikan kepada anak yang masih bodoh harta miliknya, yang kamu dijadikan Tuhan sebagai pemeliharanya”.
Sifat-sifat yang dianggap oleh Imam Ghazaly sebagai sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid ada sepuluh macam, yang disebut dengan wazhaif (tugas-tugas) murid ialah:
1. Manakala belajar itu merupakan salah satu bagian dari ibadah lantaran bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Filsafat Imam Ghazaly bahwa sifat yang diharapkan oleh murid hendaknya menjauhi sedapat mungkin urusan keduniaan dan menguranginya. Sebab melibatkan diri dalam urusan keduniaan dengan segala seluk beluknya kadang-kadang dapat melalaikan dari usaha mencari ilmu.
3. Beliau juga mengokohkan sifat tasawuf yakni sifat rendah hati, yang wajib dilakukan oleh setiap siswa yaitu siswa tidak berbangga diri dihadapan gurunya atau bahkan sombong dengan ilmunya.
4. Agar akal dan pikiran siswa tidak menjadi kacau pada permulaanya, lantaran sesuatu yang kadang timbul akibat dari usaha mendalami ilmu pengetahuan yang berlawanan dan aneka ragam pendapat yang tidak jelas, hendaknya siswa menjaga diri dari pendapat yang berlawanan antara satu aliran dengan aliran yang lain dan dari melibatkan diri dari perdebatan atau diskusi dengan para ilmuan, sehingga membuat siswa bingung dan kacau.
5. Jika ragam ilmu pengetahuan berkaitan satu sama lain kadang-kadang ketidaktahuan sebagiannya dapat melemahkan usaha mempelajari yang lain, sehingga seorang siswa tidak mengabaikan mempelajari satu ilmu dari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu duniawi yang memungkinkan dapat mengetahui tujuan dan pokok bahasannya.
6. Imam Ghazaly berpendapat bahwa perjenjangan pelajaran itu perlu karena seorang siswa hendaknya bertahap dalam mempelajari ilmu pengetahuan tidak mempelajarinya sekaligus. Yaitu dimulai dari pengetahuan agama lalu mempelajari ilmu pengetahuan yang lainnya menurut kebutuhannya.
7. Imam Ghazaly beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu terdapat perjenjangan secara alami, hingga mempelajari sebagian ilmu dapat juga sampai kepada ilmu berikutnya sesuai dengan sistematika dan jenjang ilmu pengetahuan tersebut.
8. Imam Ghazaly menilai ilmu pengetahuan pada sisi lain dalam nasehat yang disampaikan pada siswa, yaitu agar siswa mengenal nilai ilmu penngetahuan yang dipelajarinya, kelebihan ilmu itu daripada ilmu lainnya dan hasil kongkrit yang dicapai dari mempelajarinya.
9. Imam Ghazaly menjelaskan kepada siswa bahwa tujuan mempe;ajari suatu ilmu itu untuk lebih mengutamakan ilmu pengetahuan agama ketimbang ilmu keduniaan.
10. Imam Ghazaly menguatkan pendiriannya bahwa seorang siswa harus mengetahui nilai-nilai ilmu pengetahuan dari segi manfaatnya, beliau menilai bahwa ilmu agama adalah ilmu yang paling bermanfaat sebab dapat membawa kepada kebahagiaan abadi.
Imam Ghazaly berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan kepada anak sedini mungkin, sebab seorang anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama dan mengimankan saja tidak dituntut untuk mencari dalilnya, atau tidak dianjurkan untuk menetapkan dan membuktikannya. Pendidikan agama itu dimulai dengan menghafal serta memahami kemudian meyakini dan membenarkannya. Setelah itu baru ditegakan dengan bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat membantu untuk memantapkan keyakinan tersebut.
IV. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan agama dengan berbagai ragamnya adalah ilmu pengetahuan yang utama, karena ilmu tersebut dapat dicapai melalui kesempurnaan akal dan kejernihan pikiran.. Manfaat umumnya tidak diragukan, karena buahnya berupa kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan proporsi akal, bagaimana akan diragukan, sedang seorang guru bertindak dalam bidang budi pekerti dan kejiwaan. Apa yang telah dikemukakan di atas menjadi bukti tegas bahwa Imam Ghazaly mengklasifisir dan mensistimatisir ilmu sesuai dengan kebutuhan dan urgensinya bagi seorang murid dan sesuai dengan nilai-nilai yang berbeda yang terdapat dalam ilmu itu. Beliau menilai bobot ilmu pengetahuan itu sesuai dengan standarisasi nyata yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sejauh mana manfaat ilmu itu bagi umat manusia dalam kehidupan beragamanya, baik didunia maupun diakhirat dari segi mensucikan jiwa, memperindah budi pekerti, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan mempersiapkan untuk kehidupan yang kekal abadi.
2. sejauh mana manfaatnya bagi manusia dari segi keharusan adanya dan sumbangannya terhadap ilmu Agama
3. sejauh mana manfaatnya bagi manusia dalam kehidupan di dunia.
4. sejauh mana manfaatnya dari segi kebudayaan dan dampak positif ilmu itu dalam mewarnai pola kehidupan masyarakat.
DAPTAR PUSTAKA
Sulaman, Hasan Fatiah. Sistim Pendidikan Versi Al Ghazaly, alih bahasa Fathurrahman,Drs. Bandung PT. Al-Maarif . 1986.
Zar Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya.
Soebahar Abd.halim. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Bandung Kalam Mulia. 2002
Ihsan Hamdani. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung Pustaka setia. 1998
A.Mukti Ali. Memahami Beberapa Asfek ajaran Islam. Bandung. Mizan. 1990
Marimba D.Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung PT.Al-Ma’arif 1980
Minggu, 24 Januari 2010
Rabu, 06 Januari 2010
resume pak Adang
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
3. Ketika adik saya berusia 2,5 tahun meninggal, saya bertanya : “Mengapa dia meninggal?”,
4. “Kemana kita setelah meninggal?”,
5. “Apa/siapakah saya?” “Mengapa saya dilahirkan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meminta jawaban yang tidak cukup dengan satu kata atau satu pernyataan. Bahkan terkadang tidak cukup dengan satu periode tertentu. Misal: jawaban pertanyaan pertama mungkin baru relative dapat dipahami dengan standar relative benar ketika seorang manusia sudah sampai pada periode dewasa atau bahkan baru dapat disampaikan dengan jelas ketika periode kanak-kanak sudah terlewati. Sehingga ketika menonton tayangan iklan di televisi anak saya yang berusia 7 tahun berkata: “Umi, coba minum susu prenagen biar aku punya adik!”, saya hanya tertawa dan membayangkan anak saya kelak di masa dewasanya juga tertawa mentertawakan usulannya di masa kecil.
Pertanyaan kedua (“Ketika bapak dan ibu masih kecil, saya ada di mana?”) tidak cukup dengan jawaban belum ada. Karena bisa jadi disusul lagi dengan pertanyaan: “Asalku apa, dari mana, bagaimana asalku, dan sebagainya.
Jawaban pertanyaan “Mengapa dia meninggal?” yang dilontarkan ibu adalah “Karena adikmu sakit”.
“Mengapa adik temanku sakit tapi tidak meninggal, padahal sama-sama ke rumah sakit. Adik temanku pulang dalam keadaan sehat sedangkan adikku pulang dalam keadaan sudah meninggal?”
Saya tidak benar-benar ingat apa jawaban ibu saat itu. Yang jelas, ketika anak saya mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan masa kecil saya dulu (“Mengapa seseorang meninggal?”), saya jawab: “Karena sudah waktunya”.
Jawaban pertanyaan saya yang keempat (“Kemana kita setelah meninggal?”) membuat saya sering sulit tidur dan terbangun di tengah malam karena ketakutan. Ibu menjelaskan bahwa setelah kita meninggal, kita akan dihidupkan kembali dan hidup terus menerus. Kata-kata hidup terus begitu mengerikan, melelahkan, mengesalkan, dan menakutkan. Sebuah persepsi negatif tentang hari akhirat yang barangkali dipengaruhi oleh komik-komik yang saat itu beredar. Di dalamnya digambarkan manusia-manusia yang disiksa di neraka seperti disetrika punggung bagi yang tidak berpuasa, dililit ular besar bagi yang tidak shalat, digunting lidahnya dan tumbuh lagi kemudian digunting lagi dan seterusnya tiada berkesudahan. Gambaran tersebut lebih menempel kuat di benak kanak-kanak saya disbanding gambaran keindahan surganya yang mungkin juga digambarkan secara tidak seimbang.
Pertanyaan kelima (“Apa/siapakah saya, untuk apa saya dilahirkan?”) inilah yang sampai saat sekarang masih terus dicari jawaban sejatinya. Dari jawaban yang bersumber dari materi maupun ide, dari akal maupun persepsi wahyu, masih menimbulkan pertanyaan lanjutan. Karena bisa jadi pemahaman saya masih kanak-kanak. Atau pihak-pihak yang menjawabnya belum bisa menjelaskan persepsi mereka dengan bahasa yang bisa memuaskan persepsi saya. Barangkali saya hanya bisa menunggu saat-saat saya mentertawakan pertanyaan saya yang mungkin lucu itu. Kapankah itu? Bisa jadi hanya kelak di akhirat hakikat itu hanya akan terungkap.
Itulah kerja filsafat, sebuah usaha untuk mengungkap tentang hakikat atau inti mutlak sesuatu yang bersifat sangat dalam (radix).
Cerita panjang di atas hanya bermaksud mengungkapkan persepsi saya tentang kerja fikir yang sering tiada habisnya. Karena bukankah itu letak kemuliaan manusia dibanding makhluk Allah lainnya: berfikir tiada henti menghasilkan ilmu.
Ilmu, dengan berbagai cabangnya, terus berkembang. Tapi sejalan dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan manusia terus menerus dan makin dipersoalkan serta dipelajari. Ini menunjukkan bahwa orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang masih belum puas juga dengan keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan baru sudah timbul. Sehingga, pada awalnya ilmu hampir identik dengan pengetahuan, lama kelamaan ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan. Ketika disadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan dan makin rumit tanda-tanda gejalanya, maka hakikat ilmu pun mulai dipertanyakan. Maka berkembanglah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu tentu saja berlainan dengan ilmu filsafat. Jika ilmu filsafat adalah ilmu yang objek kajiannya filsafat, maka filsafat ilmu justru objek kajiannya adalah ilmu. Dalam filsafat ilmu dikaji secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu dimulai dari pertanyaan yang paling mendasar seperti: Apa ilmu? Bagaimana wujud hakiki ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan landasan ontologis. Selain pertanyaan landasan ontologis, perlu dijawab pula pertanyaan landasan epistimologis: Bagaimana ilmu didapat? Sumber ilmu itu apa? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Cara/teknik/sarana apa yang digunakan? Masih belum cukup dengan dua pertanyaan landasan tersebut, filsafat ilmu pun perlu menjawab pertanyaan landasan aksiologis: untuk apa ilmu tersebut digunakan? Bagaimana kaitan antara hal-hal yang dilakukan, dihasilkan, dan digunakan dengan kaidah-kaidah moral: etika dan estetika?
BAB II
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Hampir bisa dipastikan, setiap masyarakat memiliki atau setidaknya pernah memiliki mitos tertentu. Mitos-mitos yang saya tahu ketika masa kanak-kanak dulu diantaranya tidak boleh berkeliaran waktu sareupna (saat-saat menjelang matahari terbenam), nanti ditangkap sandekala, tidak boleh mandi di tampiyan (sumur) sawah tengah hari, nanti kasambet, kalau ada gempa orang-orang sibuk memukul kentongan sambil berteriak: “ Aya…aya…aya” sedangkan bapakku mengucapkan lailaha illallah berulang-ulang. Dulu orang-orang tua mengatakan bahwa suatu saat nanti dari kampung ke kecamatan (jaraknya 6 km) bisa ditempuh hanya dengan sekejap mata (waktu itu ditempuh dengan dua jam lebih perjalanan kaki). Sekarang memang terbukti hanya 15 menit waktu yang diperlukan.
Itulah mitos. Intinya memuat kepercayaan tentang adanya suatu eksistensi yang lain di balik wujud sesuatu. Keyakinan adanya keberadaan sesuatu di balik keberadaan alam ini beserta semua fenomenanya.
Rasa ingin tahu menjadi salah satu ciri manusia yang berakal dan berfikir dengan akalnya. Maka dia menjadikan alam dengan segala fenomenanya sebagai objek kajian dan penelitian. Terkadang mitos merupakan alat sederhana yang efektif untuk menjaga kelestarian alam dan keselamatan hidup manusia. Dengan “pamali” (larangan) mengambil hasil-hasil hutan larangan baik berupa floranya maupun faunanya, membuat kelestarian alam bisa dijaga, banjir longsor bisa dicegah, pemanasan global bisa ditunda. Kepercayaaan bahwa suatu saat jarak tempuh yang membutuhkan waktu tempuh lama menjadi sebentar membuat semangat menemukan dan menciptakan sesuatu, ataupun hanya sekedar menggunakan fasilitas tertentu. Dengan mobil misalnya. Sakitnya seseorang setelah mandi di sumur sawah saat matahari terik yang mereka sebut dengan istilah kasambet menjadi bisa dirasionalisasi dengan teori bahwa hal itu merupakan ungkapan kekagetan badan yang sedang panas disiram unsur air yang dingin.
Gambaran diatas bermaksud mengungkapkan manfaat-manfaat mitos yang setelah melalui proses pengambilan hikmah, pengertian dan rasionalisasi menjadi dasar ditemukannya pengetahuan dan pemahaman. Proses kajian dan penelitian sehingga sesuatu bisa dirasionalisasi merubah mitos menjadi logos (ilmu). Pengambilan hikmah dari suatu mitos menghasilkan kepantasan dan kelayakan yang menjadi sebuah system nilai yang didalamnya berisi baik dan buruk. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar lahirnya suatu peradaban.
Intinya, karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri , timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan di kalangan filosof Yunani (dimulai pada sekitar abad IX SM). Karena perhatian mereka yang begitu besar pada alam, tidaklah mengherankan jika kemudian mereka juga disebut dengan filosof alam.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM), sehingga ia digelari Bapak Filsafat. Ia mempertanyakan : “Apa sebenarnya asal usul ala mini?”. Pertanyaan ini sangat mendasar. Terlepas apapun jawabannya, namun yang penting harus dijawab dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal ala mini adalah air.
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540). Ia menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Karena itu ia tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam misal: air. Tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros. Heraklitos (540-480 SM) melihat alam semesta ini selalu berubah. Karena itu dia berkesimpulan, tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada. Semuanya menjadi. Ia berkesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahannya melainkan actor dan penyebabnya. Yaitu api.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Gerak alam yang terlihat adalah semu. Sejatinya alam itu diam.
Pythagoras (580-500 SM) mengembalikan sesuatu kepada bilangan. Bilangan adalah unsure utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu terutama ilmu pasti dan ilmu alam.
Setelah berakhirnya masa para filosofi alam, maka muncul masa transisi. Penelitan terhadap alam tidak menjadi focus utama tetapi sudah menjurus kepada penyelidikan tentang manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relative sehingga tidak akan ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolute.
Tokoh lain dari kaum Sofis adalah Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada. Kedua, bila sesuatu itu ada tidak akan dapat diketahui. Karena penginderaan itu sumber ilusi. Akal pun telah diperdaya oleh dilemma subjektifitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh positif gerakan kaum Sofis membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan bahwa persoalan pokok filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka membangkitkan jiwa humanisme. Tidak adanya jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika membuka peluang bagi para folosof untuk lebih kreatif lagi berfikir. Ilmu mendapat ruang yang sangat kondusif karena diberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori sehingga muncul sintesa baru. Dalam filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi mencari ilmu tidak terbatas.
Namun Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum Sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung kepada manusia. Dengan metode dialog yang dilakukan Socrates tentang sebuah konsep, ditemukanlah kebenaran universal.
Socrates berpendapat bahwa dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Sehingga pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara flsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM): murid Socrates. Menurut Plato kebenaran itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Ia mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Ia berpendapat, pandangan Heraklitos benar tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja. Sedangkan pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide yang bersifat abadi. Ide inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Ia yang pertamakali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Pembagian inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap Bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Begitulah awal perjalanan filsafat yang melahirkan perkembangan ilmu sampai ke masa kita sekarang ini. Hanya saja perkembangan ilmu ternyata tidak berarti mutlak sebagai rahmat bagi kehidupan manusia. Tidak jarang kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung, membawa dampak negative baik materil maupun spiritual.
BAB III
METAFISIKA
Saya mahasiswa S2 STAIN Cirebon. Tentu saja sudah menyelesaikan program S1. Bermacam-macam pendapat orang mengatakan tentang latar belakang di balik kesarjanaan saya. Orang tua beranggapan bahwa suksesnya saya menjadi sarjana adalah karena satu hal yaitu keinginan yang kuat (idea). Ditandai dengan saya tetap mau sekolah walaupun tidak pernah didaftarkan orang tua untuk masuk ke jenjang sekolah manapun, tetap semangat walaupun ke sekolah memakai seragam bekas ataupun baju main tanpa alas kaki, tetap rangking satu walaupun hampir tak pernah dibelikan buku-buku, tetap mau melanjutkan ke SMP walaupun teman-teman perempuan SD yang lain memilih menikah, tetap semangat walaupun harus menempuh jarak 6 km dengan berjalan kaki untuk bisa sampai ke SMP, tetap bisa menyelesaikan SMA walaupun dengan bekal seadanya, tetap menyelesaikan S1 dengan nilai cum laude walaupun tidak didukung dengan sarana materi yang relative memadai.
Lain pendapat orang tua lain pula pandangan orang-orang sekarang. Contoh: adik. Ia berpendapat kesarjanaan saya karena biaya pendidikan (materi) yang relative murah. Karena zaman sekarang, di mana keberadaan materi menjadi sesuatu yang mutlak dalam segala hal, tidak akan berhasil sebuah proses tanpa ada materi yang melatarbelakanginya.
Saya fikir, bisa jadi memang keinginan yang kuat memang suatu eksistensi di balik terwujudnya kesarjanaan saya. Tetapi bagaimana jika keinginan yang kuat itu tidak dibarengi dengan selusin buku tulis hadiah rangking satu yang didapatkan setiap tahun ketika SD? Apakah bisa tetap eksis di SMP tanpa buku-buku paket bekas kakak kelas? Apakah bisa menyelesaikan SMA dengan kondisi jauh dari orang tua tanpa tinggal di Pondok Pesantren dengan biaya yang sangat murah? Apakah bisa meraih gelar sarjana tanpa bantuan hasil ‘ngeles” ngaji anak-anak dosen ?
Kira-kira begitulah metafisika. Berasal dari bahasa Yunani, meta=di balik/sesudah, pyisika=nyata, kongkrit, dapat diukur dan dijangkau panca indra. Jadi metafisika adalah sebuah kajian terhadap eksistensi yang ada di balik sesuatu yang wujud. Pertanyaan-pertanyaan: Apakah ilmu yang sekarang eksis memiliki hubungan dengan dimensi metafisik? Bagaimana ilmu harus bersumber? Apakah murni fisik empiris? Atau ada kajian lain yang lebih mendalam? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penting dalam kajian metafisika dalam rumpun filsafat ilmu.
Aristoteles menganggap metafisika akan dan harus berpusat pada persoalan ‘barang’ dan ‘bentuk’. Bentuk sebagai pengganti idea yang digagas Plato dan berada di balik fisik.
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari keadaan atau kenyataan yang tampak. Melalui kajian ini penyebab pertama dari segala yang ada akan dikaji, sehingga manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah. Ia akan dituntu memiliki tanggungjawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Secara umum metafisika dapat dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum sering diistilahkan dengan ontology. Di dalam pemahaman ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme, menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paha mini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme, mengangap bahwa sumber yang asal itu materi bukan rohani.
b. Idealisme, dinamakan juga spiritualisme, menganggap bahwa sumber yang asal itu ide atau sesuatu yang bersifat ruh.
2. Dualisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari sesuatu itu bersumber dari dua: materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3. Pluralisme,berpandangan bahwa kenyataan ini terdiri dari banyak unsur.
4. Nihilisme, tidak mengakui validitas yang positif, realitas itu sebenarnya tidak ada.
Sedangkan metafisika khusus adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Setidaknya ada tiga bidang kajian metafisika khusus:
1. Kosmologi. Cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau asal-usul alam semesta.
2. Teologi. Mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama.
3. Antropologi. Cabang filsafat yang membicarakan tentang manusia.
BAB IV
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Rasa ingin tahu merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari makhluk Allah yang lain. Karena rasa ingin tahu itulah pengetahuan manusia berawal dan berkembang. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Pengetahuan dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Lebih dari itu, hal-hal baru dipikirkan manusia karena manusia hidup bukan hanya untu kelangsungan hidup. Namun kebudayaan pun dikembangkan sehingga memberi makna kepada kehidupan. Manusia “memanusiakan diri dalam hidupnya”. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai tjuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidup.
Proses perkembangan pengetahuan tidak akan berhenti selama manusia berfikir. Hatta dalam kondisi yang sudah berkembang pun tidak dilupakan kajian terhadap aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu. Kajian ini perlu dilakukan karena didasarkan pada: 1) Adanya perbedaan pandangan di kalangan filosof dan saintis tentang apa yang menjadi sumber ilmu; 2) Perbedaan ini ternyata menimbulkan konsekuensi pada perbedaan paradigma yang dianut masing-masing komunitas masyarakat dalam memandang dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Dunia Islam misalnya. Para filosof dan saintisnya, ternyata memiliki paradigma yang khusus dalam merumuskan smber ilmu pengetahuan. Berkembang pemikiran di kalanga mereka bahwa sumber utama ilmu pengetahuan itu adalah wahyu yang termanifestasikan dalam bentuk Al-Quran dan sunnah.
Berbeda dengan para filosof dan saintis Barat pada umumnya. Menurut pandangan mereka sumber ilmu pengetahuan itu adalah : Rasio/akal dan pengalaman/empiris. Mereka tidak menjadikan intuisi sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Mengapa perbedaan dalam penentuan sumber ilmu pengetahuan itu terjadi? Boleh jadi karena dipengaruhi oleh kondisi dan motivasi yang melatarbelakangi kedua komunitas ini. Kondisi dunia Barat yang dalam cengkeraman gereja menjadi motivasi pembebasan diri dari doktrin-doktrin gereja. Sedangkan bagi filosofis Muslim melahirkan ilmu justeru atas dorongan dan spirit wahyu. Sehingga Islam selain memperkenalkan sumber empiris dan rasional sebagai sumber ilmu pengetahuan, juga memperkenalkan sumber lainnya yaitu wahyu dan intuisi dengan penjelasan sebagai berikut;
1. Empirisme/pengalaman, manusia memperoleh pengetahuan bersumber dari
pengalaman inderawi. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan antara lain:
a. Keterbatasan indera: Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indera menipu: menurut orang yang sakit, gula terasa pahit.
c. Objek yang menipu: fatamorgana.
d. Berasal dari indera dan objek sekaligus: Mata tidak mampu melihat kerbau secara keseluruhan, dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
2. Rasionalisme/akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Dengan menggunakan akal, kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan indera dapat dikoreksi. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan. Seperti: kriteria untuk mengetahui kebenaran suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak.
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) lahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Panca indera mengumpulkan data sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan prinsip-prinsip universal.
3. Intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Merupakan sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Berbeda dengan intuisi, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pemberian Tuhan secara langsung kepada hambaNya yang terpilih: Nabi dan Rasul.
Dari ketiga aliran di atas, kita bisa bayangkan bahwa tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran akan berbeda antara teori satu dengan teori lainnya.
Teori Koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk dari hubungan fakta atau realita tetapi dari hubungan putusan-putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya. Jadi, antara putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan. Dengan demikian, suatu teori dianggap benar apabila tahan uji. Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang, diuji oleh orang lain.
Teori Korespondensi.
Menurut teori ini, sebuah pengertian disebut kebenaran apabila terdapat suatu fakta atau realita yang selaras dengan situasi aktual. Dengan demikian kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.
Teori Pragmatisme.
Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada asas manfaat, kegunaan, atau pengaruhnya yang memuaskan. Yang dimaksud dengan hasil yang memuaskan adalah:
1. Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2. Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis ntuk tetap ada.
BAB V
METODE BERPIKIR ILMIAH
Metode: cara., langkah-langkah, teknik. Ilmiah: bersifat keilmuan, secara pengetahuan. Metode berpikir ilmiah adalah cara, teknik, prosedur memperoleh pengetahuan melalui kerangka kerja ilmiah yang sistematis. Dilakukan agar ilmu berkembang dan tetap eksis serta mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Metode ilmiah adalah suatu prosedur atau cara ternetu untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesa yang ditentukan sebelumnnya. Metode ilmiah dipengaruhi unsure alam yang berubah dan bergerak secara dinamis dan teratur. Asas tunggal alam (natural law) menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Corak metode yang bersandar pada alam yang dinamis dan teratur menyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat kecenderungan yang positivistic.
Ditemukannya metode berpikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya ledakan kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi berpangku tangan terhadap kehendak alam. Kesanggupan mengembangkan pengetahuan inilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Jadi, nilai guna metode berpikir ilmiah adalah agar manusia terus menerus mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan kaum terdidik untk memecahkan masalah. Lain dengan kaum awam. Mereka menggunakan cara kerja yang biasanya tidak sistematis dan sering bernuansa subjektif. Kaum terdidik menyelesaikan masalah dengan prosedur berpikir ilmiah dengan karakteristik yang bersifat rasional (deduktif) dan teruji secara empiris (induktif).
Sikap ilmiah merupakan bagian penting dari prosedur berpikir ilmiah yang meliputi enam karakteristik:
1. Rasa ingin tahu sebagai pemicu.
2. Spekulatif untuk menguji hipotesis.
3. Objektif.
4. keterbukaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan.
5. Kesediaan untuk menunda penilaian jika penyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan.
6. Tentatif, tidak bersifat dogmatis terhadap hipotesis atau simpulan.
Untk mencapai apa yang disebut benar,seorang peneliti melakukan aktivitas ilmiah dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menyusun sesuatu yang disebut sebagai masalah.
2. Merumuskan masalah dalam bentuk yang operasional.
3. Menyusun hipotesa.
4. Menetapkan teknik dan menyusun instrument penelitian.
5. Mengumpulkan data yang diperlukan.
6. Melakukan analisa data.
7. Menggambarkan kesimpulan.
Dalam melaksanakan penelitian, para ilmuwan mempunyai dua aspek: individual dan sosial.
a. Aspek individual mengacu pada ilmu sebagai aktivitas ilmuwan.
b. Aspek sosial mengacu pada ilmu sebagai aktivitas suatu komunitas ilmiah dan kumpulan para ilmuwan.
BAB VI
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Kegiatan berpikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berpikir ilmiah adalah berpikir dengan langkah-langkah metode ilmiah seperti: perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literature, menguji hipotesis, menarik kesimpulan. Semua langkah-langkah berpikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat/sarana yang baik sehingga diharapkan hasil berpikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat Bantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmia secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berpikir maka ilmu ilmu merupakan gabungan antara pola berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peeranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan berpikir ilmiah tersebut.
Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berpikir berupa: Bahasa, logika, matematika, dan statistic.
BAB VII
ETIKA
Etika adala salah satu unsure penting yang terdapat dalam teori nilai. Kata teori nilai yang terdiri dari dua kata yakni teore dan nilai itu, tampaknya merupakan terjemahan dari bahasa yunani: logos (akal dan teori0 dan aksios (nilai, atau suatu yang berharga).
Para ahli filsafat sering menyebut teori nilai sama dengan aksiologi. Seperti diketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari tiga cabanga besar Filsafat ilmu, yakni: ontology, epistemology, dan aksiologi. Aksiologi sering disebut sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, criteria dan status metafisik dari nilai.
Nilai memiliki cirri dan karakter khusus. Setidaknya, dalam catatan Filsafat ilmu, nilai memiliki tiga cirri, yaitu :
1. Nilai dan subjek
2. Sikap Praktis
3. Sikap Pandang Subjektif
BAB VIII
ESTETIKA
Estetika sering terkait dengan persoalan seni dan rasa keindahan. Estetika merupakan bagian dari tri tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistimologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan keindahan itu sendiri (estetika).
Estetika berbicara mengenai hakikat keindahan. Selain itu estetika juga berbicara tentang teori mengenai seni, seni yang melukiskan bahasa dan perasaan.
Dengan demikian, estetika berarti suatu teori yang meliputi:
1. penyelidikan mengenai yang indah
2. Penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
3. Pengalaman yang bertalian dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan terhadap seni.
BAB IX
BAHASA ILMIAH
Bahasa dicirikan sebagai:
1. Serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi
2. Lambang dari serangkaian bunyi yang membentuk arti tertentu
Dengan bahasa manusia dapat mengkomunkasikan segenap pengalaman dan berpikir mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat bahasa pun ikut berkembang.
Kemampuan bahasa adalah bagaimana anak mengkontruksi pengetahuannya dan bisa menyampaikan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa adalah salah satu keunikan manusia.
Bahasa bagi manusia berfungsi sebagai:
1. Alat komunikasi atau fungsi komunikatif
2. Alat budaya, yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif.
Di dalam fungsi komunikatif bahasa terdapat tiga unsur bahasa yang digunakan untuk menyampaikan : perasaan (unsure emotif), sikap (unsure afektif), dan buah pikiran (unsure penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi ketiga unsur ini.
Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran dan komunikasi bebas dari pengaruh unsure emotif. Sedangkan perkembangan seni dipengaruhi oleh unsure emotif dan afektif.
Syarat komunikasi ilmiah adalah ;
1. bahasa harus bebas emotif
2. reproduktif artinya komunikasinya dapat dimengerti oleh yang menerima
kekurangan bahasa terletak pada :
1. peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya menginginkan penyampaian buah pikiran atau penalaran saja, sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik
2. arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang mengandung bahasa.
3. konotasi yang bersifat emosional
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
3. Ketika adik saya berusia 2,5 tahun meninggal, saya bertanya : “Mengapa dia meninggal?”,
4. “Kemana kita setelah meninggal?”,
5. “Apa/siapakah saya?” “Mengapa saya dilahirkan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meminta jawaban yang tidak cukup dengan satu kata atau satu pernyataan. Bahkan terkadang tidak cukup dengan satu periode tertentu. Misal: jawaban pertanyaan pertama mungkin baru relative dapat dipahami dengan standar relative benar ketika seorang manusia sudah sampai pada periode dewasa atau bahkan baru dapat disampaikan dengan jelas ketika periode kanak-kanak sudah terlewati. Sehingga ketika menonton tayangan iklan di televisi anak saya yang berusia 7 tahun berkata: “Umi, coba minum susu prenagen biar aku punya adik!”, saya hanya tertawa dan membayangkan anak saya kelak di masa dewasanya juga tertawa mentertawakan usulannya di masa kecil.
Pertanyaan kedua (“Ketika bapak dan ibu masih kecil, saya ada di mana?”) tidak cukup dengan jawaban belum ada. Karena bisa jadi disusul lagi dengan pertanyaan: “Asalku apa, dari mana, bagaimana asalku, dan sebagainya.
Jawaban pertanyaan “Mengapa dia meninggal?” yang dilontarkan ibu adalah “Karena adikmu sakit”.
“Mengapa adik temanku sakit tapi tidak meninggal, padahal sama-sama ke rumah sakit. Adik temanku pulang dalam keadaan sehat sedangkan adikku pulang dalam keadaan sudah meninggal?”
Saya tidak benar-benar ingat apa jawaban ibu saat itu. Yang jelas, ketika anak saya mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan masa kecil saya dulu (“Mengapa seseorang meninggal?”), saya jawab: “Karena sudah waktunya”.
Jawaban pertanyaan saya yang keempat (“Kemana kita setelah meninggal?”) membuat saya sering sulit tidur dan terbangun di tengah malam karena ketakutan. Ibu menjelaskan bahwa setelah kita meninggal, kita akan dihidupkan kembali dan hidup terus menerus. Kata-kata hidup terus begitu mengerikan, melelahkan, mengesalkan, dan menakutkan. Sebuah persepsi negatif tentang hari akhirat yang barangkali dipengaruhi oleh komik-komik yang saat itu beredar. Di dalamnya digambarkan manusia-manusia yang disiksa di neraka seperti disetrika punggung bagi yang tidak berpuasa, dililit ular besar bagi yang tidak shalat, digunting lidahnya dan tumbuh lagi kemudian digunting lagi dan seterusnya tiada berkesudahan. Gambaran tersebut lebih menempel kuat di benak kanak-kanak saya disbanding gambaran keindahan surganya yang mungkin juga digambarkan secara tidak seimbang.
Pertanyaan kelima (“Apa/siapakah saya, untuk apa saya dilahirkan?”) inilah yang sampai saat sekarang masih terus dicari jawaban sejatinya. Dari jawaban yang bersumber dari materi maupun ide, dari akal maupun persepsi wahyu, masih menimbulkan pertanyaan lanjutan. Karena bisa jadi pemahaman saya masih kanak-kanak. Atau pihak-pihak yang menjawabnya belum bisa menjelaskan persepsi mereka dengan bahasa yang bisa memuaskan persepsi saya. Barangkali saya hanya bisa menunggu saat-saat saya mentertawakan pertanyaan saya yang mungkin lucu itu. Kapankah itu? Bisa jadi hanya kelak di akhirat hakikat itu hanya akan terungkap.
Itulah kerja filsafat, sebuah usaha untuk mengungkap tentang hakikat atau inti mutlak sesuatu yang bersifat sangat dalam (radix).
Cerita panjang di atas hanya bermaksud mengungkapkan persepsi saya tentang kerja fikir yang sering tiada habisnya. Karena bukankah itu letak kemuliaan manusia dibanding makhluk Allah lainnya: berfikir tiada henti menghasilkan ilmu.
Ilmu, dengan berbagai cabangnya, terus berkembang. Tapi sejalan dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan manusia terus menerus dan makin dipersoalkan serta dipelajari. Ini menunjukkan bahwa orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang masih belum puas juga dengan keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan baru sudah timbul. Sehingga, pada awalnya ilmu hampir identik dengan pengetahuan, lama kelamaan ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan. Ketika disadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan dan makin rumit tanda-tanda gejalanya, maka hakikat ilmu pun mulai dipertanyakan. Maka berkembanglah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu tentu saja berlainan dengan ilmu filsafat. Jika ilmu filsafat adalah ilmu yang objek kajiannya filsafat, maka filsafat ilmu justru objek kajiannya adalah ilmu. Dalam filsafat ilmu dikaji secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu dimulai dari pertanyaan yang paling mendasar seperti: Apa ilmu? Bagaimana wujud hakiki ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan landasan ontologis. Selain pertanyaan landasan ontologis, perlu dijawab pula pertanyaan landasan epistimologis: Bagaimana ilmu didapat? Sumber ilmu itu apa? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Cara/teknik/sarana apa yang digunakan? Masih belum cukup dengan dua pertanyaan landasan tersebut, filsafat ilmu pun perlu menjawab pertanyaan landasan aksiologis: untuk apa ilmu tersebut digunakan? Bagaimana kaitan antara hal-hal yang dilakukan, dihasilkan, dan digunakan dengan kaidah-kaidah moral: etika dan estetika?
BAB II
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Hampir bisa dipastikan, setiap masyarakat memiliki atau setidaknya pernah memiliki mitos tertentu. Mitos-mitos yang saya tahu ketika masa kanak-kanak dulu diantaranya tidak boleh berkeliaran waktu sareupna (saat-saat menjelang matahari terbenam), nanti ditangkap sandekala, tidak boleh mandi di tampiyan (sumur) sawah tengah hari, nanti kasambet, kalau ada gempa orang-orang sibuk memukul kentongan sambil berteriak: “ Aya…aya…aya” sedangkan bapakku mengucapkan lailaha illallah berulang-ulang. Dulu orang-orang tua mengatakan bahwa suatu saat nanti dari kampung ke kecamatan (jaraknya 6 km) bisa ditempuh hanya dengan sekejap mata (waktu itu ditempuh dengan dua jam lebih perjalanan kaki). Sekarang memang terbukti hanya 15 menit waktu yang diperlukan.
Itulah mitos. Intinya memuat kepercayaan tentang adanya suatu eksistensi yang lain di balik wujud sesuatu. Keyakinan adanya keberadaan sesuatu di balik keberadaan alam ini beserta semua fenomenanya.
Rasa ingin tahu menjadi salah satu ciri manusia yang berakal dan berfikir dengan akalnya. Maka dia menjadikan alam dengan segala fenomenanya sebagai objek kajian dan penelitian. Terkadang mitos merupakan alat sederhana yang efektif untuk menjaga kelestarian alam dan keselamatan hidup manusia. Dengan “pamali” (larangan) mengambil hasil-hasil hutan larangan baik berupa floranya maupun faunanya, membuat kelestarian alam bisa dijaga, banjir longsor bisa dicegah, pemanasan global bisa ditunda. Kepercayaaan bahwa suatu saat jarak tempuh yang membutuhkan waktu tempuh lama menjadi sebentar membuat semangat menemukan dan menciptakan sesuatu, ataupun hanya sekedar menggunakan fasilitas tertentu. Dengan mobil misalnya. Sakitnya seseorang setelah mandi di sumur sawah saat matahari terik yang mereka sebut dengan istilah kasambet menjadi bisa dirasionalisasi dengan teori bahwa hal itu merupakan ungkapan kekagetan badan yang sedang panas disiram unsur air yang dingin.
Gambaran diatas bermaksud mengungkapkan manfaat-manfaat mitos yang setelah melalui proses pengambilan hikmah, pengertian dan rasionalisasi menjadi dasar ditemukannya pengetahuan dan pemahaman. Proses kajian dan penelitian sehingga sesuatu bisa dirasionalisasi merubah mitos menjadi logos (ilmu). Pengambilan hikmah dari suatu mitos menghasilkan kepantasan dan kelayakan yang menjadi sebuah system nilai yang didalamnya berisi baik dan buruk. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar lahirnya suatu peradaban.
Intinya, karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri , timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan di kalangan filosof Yunani (dimulai pada sekitar abad IX SM). Karena perhatian mereka yang begitu besar pada alam, tidaklah mengherankan jika kemudian mereka juga disebut dengan filosof alam.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM), sehingga ia digelari Bapak Filsafat. Ia mempertanyakan : “Apa sebenarnya asal usul ala mini?”. Pertanyaan ini sangat mendasar. Terlepas apapun jawabannya, namun yang penting harus dijawab dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal ala mini adalah air.
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540). Ia menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Karena itu ia tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam misal: air. Tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros. Heraklitos (540-480 SM) melihat alam semesta ini selalu berubah. Karena itu dia berkesimpulan, tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada. Semuanya menjadi. Ia berkesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahannya melainkan actor dan penyebabnya. Yaitu api.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Gerak alam yang terlihat adalah semu. Sejatinya alam itu diam.
Pythagoras (580-500 SM) mengembalikan sesuatu kepada bilangan. Bilangan adalah unsure utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu terutama ilmu pasti dan ilmu alam.
Setelah berakhirnya masa para filosofi alam, maka muncul masa transisi. Penelitan terhadap alam tidak menjadi focus utama tetapi sudah menjurus kepada penyelidikan tentang manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relative sehingga tidak akan ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolute.
Tokoh lain dari kaum Sofis adalah Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada. Kedua, bila sesuatu itu ada tidak akan dapat diketahui. Karena penginderaan itu sumber ilusi. Akal pun telah diperdaya oleh dilemma subjektifitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh positif gerakan kaum Sofis membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan bahwa persoalan pokok filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka membangkitkan jiwa humanisme. Tidak adanya jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika membuka peluang bagi para folosof untuk lebih kreatif lagi berfikir. Ilmu mendapat ruang yang sangat kondusif karena diberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori sehingga muncul sintesa baru. Dalam filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi mencari ilmu tidak terbatas.
Namun Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum Sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung kepada manusia. Dengan metode dialog yang dilakukan Socrates tentang sebuah konsep, ditemukanlah kebenaran universal.
Socrates berpendapat bahwa dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Sehingga pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara flsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM): murid Socrates. Menurut Plato kebenaran itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Ia mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Ia berpendapat, pandangan Heraklitos benar tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja. Sedangkan pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide yang bersifat abadi. Ide inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Ia yang pertamakali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Pembagian inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap Bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Begitulah awal perjalanan filsafat yang melahirkan perkembangan ilmu sampai ke masa kita sekarang ini. Hanya saja perkembangan ilmu ternyata tidak berarti mutlak sebagai rahmat bagi kehidupan manusia. Tidak jarang kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung, membawa dampak negative baik materil maupun spiritual.
BAB III
METAFISIKA
Saya mahasiswa S2 STAIN Cirebon. Tentu saja sudah menyelesaikan program S1. Bermacam-macam pendapat orang mengatakan tentang latar belakang di balik kesarjanaan saya. Orang tua beranggapan bahwa suksesnya saya menjadi sarjana adalah karena satu hal yaitu keinginan yang kuat (idea). Ditandai dengan saya tetap mau sekolah walaupun tidak pernah didaftarkan orang tua untuk masuk ke jenjang sekolah manapun, tetap semangat walaupun ke sekolah memakai seragam bekas ataupun baju main tanpa alas kaki, tetap rangking satu walaupun hampir tak pernah dibelikan buku-buku, tetap mau melanjutkan ke SMP walaupun teman-teman perempuan SD yang lain memilih menikah, tetap semangat walaupun harus menempuh jarak 6 km dengan berjalan kaki untuk bisa sampai ke SMP, tetap bisa menyelesaikan SMA walaupun dengan bekal seadanya, tetap menyelesaikan S1 dengan nilai cum laude walaupun tidak didukung dengan sarana materi yang relative memadai.
Lain pendapat orang tua lain pula pandangan orang-orang sekarang. Contoh: adik. Ia berpendapat kesarjanaan saya karena biaya pendidikan (materi) yang relative murah. Karena zaman sekarang, di mana keberadaan materi menjadi sesuatu yang mutlak dalam segala hal, tidak akan berhasil sebuah proses tanpa ada materi yang melatarbelakanginya.
Saya fikir, bisa jadi memang keinginan yang kuat memang suatu eksistensi di balik terwujudnya kesarjanaan saya. Tetapi bagaimana jika keinginan yang kuat itu tidak dibarengi dengan selusin buku tulis hadiah rangking satu yang didapatkan setiap tahun ketika SD? Apakah bisa tetap eksis di SMP tanpa buku-buku paket bekas kakak kelas? Apakah bisa menyelesaikan SMA dengan kondisi jauh dari orang tua tanpa tinggal di Pondok Pesantren dengan biaya yang sangat murah? Apakah bisa meraih gelar sarjana tanpa bantuan hasil ‘ngeles” ngaji anak-anak dosen ?
Kira-kira begitulah metafisika. Berasal dari bahasa Yunani, meta=di balik/sesudah, pyisika=nyata, kongkrit, dapat diukur dan dijangkau panca indra. Jadi metafisika adalah sebuah kajian terhadap eksistensi yang ada di balik sesuatu yang wujud. Pertanyaan-pertanyaan: Apakah ilmu yang sekarang eksis memiliki hubungan dengan dimensi metafisik? Bagaimana ilmu harus bersumber? Apakah murni fisik empiris? Atau ada kajian lain yang lebih mendalam? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penting dalam kajian metafisika dalam rumpun filsafat ilmu.
Aristoteles menganggap metafisika akan dan harus berpusat pada persoalan ‘barang’ dan ‘bentuk’. Bentuk sebagai pengganti idea yang digagas Plato dan berada di balik fisik.
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari keadaan atau kenyataan yang tampak. Melalui kajian ini penyebab pertama dari segala yang ada akan dikaji, sehingga manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah. Ia akan dituntu memiliki tanggungjawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Secara umum metafisika dapat dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum sering diistilahkan dengan ontology. Di dalam pemahaman ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme, menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paha mini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme, mengangap bahwa sumber yang asal itu materi bukan rohani.
b. Idealisme, dinamakan juga spiritualisme, menganggap bahwa sumber yang asal itu ide atau sesuatu yang bersifat ruh.
2. Dualisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari sesuatu itu bersumber dari dua: materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3. Pluralisme,berpandangan bahwa kenyataan ini terdiri dari banyak unsur.
4. Nihilisme, tidak mengakui validitas yang positif, realitas itu sebenarnya tidak ada.
Sedangkan metafisika khusus adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Setidaknya ada tiga bidang kajian metafisika khusus:
1. Kosmologi. Cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau asal-usul alam semesta.
2. Teologi. Mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama.
3. Antropologi. Cabang filsafat yang membicarakan tentang manusia.
BAB IV
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Rasa ingin tahu merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari makhluk Allah yang lain. Karena rasa ingin tahu itulah pengetahuan manusia berawal dan berkembang. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Pengetahuan dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Lebih dari itu, hal-hal baru dipikirkan manusia karena manusia hidup bukan hanya untu kelangsungan hidup. Namun kebudayaan pun dikembangkan sehingga memberi makna kepada kehidupan. Manusia “memanusiakan diri dalam hidupnya”. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai tjuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidup.
Proses perkembangan pengetahuan tidak akan berhenti selama manusia berfikir. Hatta dalam kondisi yang sudah berkembang pun tidak dilupakan kajian terhadap aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu. Kajian ini perlu dilakukan karena didasarkan pada: 1) Adanya perbedaan pandangan di kalangan filosof dan saintis tentang apa yang menjadi sumber ilmu; 2) Perbedaan ini ternyata menimbulkan konsekuensi pada perbedaan paradigma yang dianut masing-masing komunitas masyarakat dalam memandang dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Dunia Islam misalnya. Para filosof dan saintisnya, ternyata memiliki paradigma yang khusus dalam merumuskan smber ilmu pengetahuan. Berkembang pemikiran di kalanga mereka bahwa sumber utama ilmu pengetahuan itu adalah wahyu yang termanifestasikan dalam bentuk Al-Quran dan sunnah.
Berbeda dengan para filosof dan saintis Barat pada umumnya. Menurut pandangan mereka sumber ilmu pengetahuan itu adalah : Rasio/akal dan pengalaman/empiris. Mereka tidak menjadikan intuisi sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Mengapa perbedaan dalam penentuan sumber ilmu pengetahuan itu terjadi? Boleh jadi karena dipengaruhi oleh kondisi dan motivasi yang melatarbelakangi kedua komunitas ini. Kondisi dunia Barat yang dalam cengkeraman gereja menjadi motivasi pembebasan diri dari doktrin-doktrin gereja. Sedangkan bagi filosofis Muslim melahirkan ilmu justeru atas dorongan dan spirit wahyu. Sehingga Islam selain memperkenalkan sumber empiris dan rasional sebagai sumber ilmu pengetahuan, juga memperkenalkan sumber lainnya yaitu wahyu dan intuisi dengan penjelasan sebagai berikut;
1. Empirisme/pengalaman, manusia memperoleh pengetahuan bersumber dari
pengalaman inderawi. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan antara lain:
a. Keterbatasan indera: Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indera menipu: menurut orang yang sakit, gula terasa pahit.
c. Objek yang menipu: fatamorgana.
d. Berasal dari indera dan objek sekaligus: Mata tidak mampu melihat kerbau secara keseluruhan, dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
2. Rasionalisme/akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Dengan menggunakan akal, kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan indera dapat dikoreksi. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan. Seperti: kriteria untuk mengetahui kebenaran suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak.
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) lahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Panca indera mengumpulkan data sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan prinsip-prinsip universal.
3. Intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Merupakan sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Berbeda dengan intuisi, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pemberian Tuhan secara langsung kepada hambaNya yang terpilih: Nabi dan Rasul.
Dari ketiga aliran di atas, kita bisa bayangkan bahwa tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran akan berbeda antara teori satu dengan teori lainnya.
Teori Koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk dari hubungan fakta atau realita tetapi dari hubungan putusan-putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya. Jadi, antara putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan. Dengan demikian, suatu teori dianggap benar apabila tahan uji. Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang, diuji oleh orang lain.
Teori Korespondensi.
Menurut teori ini, sebuah pengertian disebut kebenaran apabila terdapat suatu fakta atau realita yang selaras dengan situasi aktual. Dengan demikian kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.
Teori Pragmatisme.
Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada asas manfaat, kegunaan, atau pengaruhnya yang memuaskan. Yang dimaksud dengan hasil yang memuaskan adalah:
1. Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2. Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis ntuk tetap ada.
BAB V
METODE BERPIKIR ILMIAH
Metode: cara., langkah-langkah, teknik. Ilmiah: bersifat keilmuan, secara pengetahuan. Metode berpikir ilmiah adalah cara, teknik, prosedur memperoleh pengetahuan melalui kerangka kerja ilmiah yang sistematis. Dilakukan agar ilmu berkembang dan tetap eksis serta mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Metode ilmiah adalah suatu prosedur atau cara ternetu untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesa yang ditentukan sebelumnnya. Metode ilmiah dipengaruhi unsure alam yang berubah dan bergerak secara dinamis dan teratur. Asas tunggal alam (natural law) menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Corak metode yang bersandar pada alam yang dinamis dan teratur menyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat kecenderungan yang positivistic.
Ditemukannya metode berpikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya ledakan kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi berpangku tangan terhadap kehendak alam. Kesanggupan mengembangkan pengetahuan inilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Jadi, nilai guna metode berpikir ilmiah adalah agar manusia terus menerus mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan kaum terdidik untk memecahkan masalah. Lain dengan kaum awam. Mereka menggunakan cara kerja yang biasanya tidak sistematis dan sering bernuansa subjektif. Kaum terdidik menyelesaikan masalah dengan prosedur berpikir ilmiah dengan karakteristik yang bersifat rasional (deduktif) dan teruji secara empiris (induktif).
Sikap ilmiah merupakan bagian penting dari prosedur berpikir ilmiah yang meliputi enam karakteristik:
1. Rasa ingin tahu sebagai pemicu.
2. Spekulatif untuk menguji hipotesis.
3. Objektif.
4. keterbukaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan.
5. Kesediaan untuk menunda penilaian jika penyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan.
6. Tentatif, tidak bersifat dogmatis terhadap hipotesis atau simpulan.
Untk mencapai apa yang disebut benar,seorang peneliti melakukan aktivitas ilmiah dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menyusun sesuatu yang disebut sebagai masalah.
2. Merumuskan masalah dalam bentuk yang operasional.
3. Menyusun hipotesa.
4. Menetapkan teknik dan menyusun instrument penelitian.
5. Mengumpulkan data yang diperlukan.
6. Melakukan analisa data.
7. Menggambarkan kesimpulan.
Dalam melaksanakan penelitian, para ilmuwan mempunyai dua aspek: individual dan sosial.
a. Aspek individual mengacu pada ilmu sebagai aktivitas ilmuwan.
b. Aspek sosial mengacu pada ilmu sebagai aktivitas suatu komunitas ilmiah dan kumpulan para ilmuwan.
BAB VI
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Kegiatan berpikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berpikir ilmiah adalah berpikir dengan langkah-langkah metode ilmiah seperti: perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literature, menguji hipotesis, menarik kesimpulan. Semua langkah-langkah berpikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat/sarana yang baik sehingga diharapkan hasil berpikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat Bantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmia secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berpikir maka ilmu ilmu merupakan gabungan antara pola berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peeranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan berpikir ilmiah tersebut.
Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berpikir berupa: Bahasa, logika, matematika, dan statistic.
BAB VII
ETIKA
Etika adala salah satu unsure penting yang terdapat dalam teori nilai. Kata teori nilai yang terdiri dari dua kata yakni teore dan nilai itu, tampaknya merupakan terjemahan dari bahasa yunani: logos (akal dan teori0 dan aksios (nilai, atau suatu yang berharga).
Para ahli filsafat sering menyebut teori nilai sama dengan aksiologi. Seperti diketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari tiga cabanga besar Filsafat ilmu, yakni: ontology, epistemology, dan aksiologi. Aksiologi sering disebut sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, criteria dan status metafisik dari nilai.
Nilai memiliki cirri dan karakter khusus. Setidaknya, dalam catatan Filsafat ilmu, nilai memiliki tiga cirri, yaitu :
1. Nilai dan subjek
2. Sikap Praktis
3. Sikap Pandang Subjektif
BAB VIII
ESTETIKA
Estetika sering terkait dengan persoalan seni dan rasa keindahan. Estetika merupakan bagian dari tri tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistimologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan keindahan itu sendiri (estetika).
Estetika berbicara mengenai hakikat keindahan. Selain itu estetika juga berbicara tentang teori mengenai seni, seni yang melukiskan bahasa dan perasaan.
Dengan demikian, estetika berarti suatu teori yang meliputi:
1. penyelidikan mengenai yang indah
2. Penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
3. Pengalaman yang bertalian dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan terhadap seni.
BAB IX
BAHASA ILMIAH
Bahasa dicirikan sebagai:
1. Serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi
2. Lambang dari serangkaian bunyi yang membentuk arti tertentu
Dengan bahasa manusia dapat mengkomunkasikan segenap pengalaman dan berpikir mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat bahasa pun ikut berkembang.
Kemampuan bahasa adalah bagaimana anak mengkontruksi pengetahuannya dan bisa menyampaikan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa adalah salah satu keunikan manusia.
Bahasa bagi manusia berfungsi sebagai:
1. Alat komunikasi atau fungsi komunikatif
2. Alat budaya, yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif.
Di dalam fungsi komunikatif bahasa terdapat tiga unsur bahasa yang digunakan untuk menyampaikan : perasaan (unsure emotif), sikap (unsure afektif), dan buah pikiran (unsure penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi ketiga unsur ini.
Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran dan komunikasi bebas dari pengaruh unsure emotif. Sedangkan perkembangan seni dipengaruhi oleh unsure emotif dan afektif.
Syarat komunikasi ilmiah adalah ;
1. bahasa harus bebas emotif
2. reproduktif artinya komunikasinya dapat dimengerti oleh yang menerima
kekurangan bahasa terletak pada :
1. peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya menginginkan penyampaian buah pikiran atau penalaran saja, sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik
2. arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang mengandung bahasa.
3. konotasi yang bersifat emosional
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
3. Ketika adik saya berusia 2,5 tahun meninggal, saya bertanya : “Mengapa dia meninggal?”,
4. “Kemana kita setelah meninggal?”,
5. “Apa/siapakah saya?” “Mengapa saya dilahirkan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meminta jawaban yang tidak cukup dengan satu kata atau satu pernyataan. Bahkan terkadang tidak cukup dengan satu periode tertentu. Misal: jawaban pertanyaan pertama mungkin baru relative dapat dipahami dengan standar relative benar ketika seorang manusia sudah sampai pada periode dewasa atau bahkan baru dapat disampaikan dengan jelas ketika periode kanak-kanak sudah terlewati. Sehingga ketika menonton tayangan iklan di televisi anak saya yang berusia 7 tahun berkata: “Umi, coba minum susu prenagen biar aku punya adik!”, saya hanya tertawa dan membayangkan anak saya kelak di masa dewasanya juga tertawa mentertawakan usulannya di masa kecil.
Pertanyaan kedua (“Ketika bapak dan ibu masih kecil, saya ada di mana?”) tidak cukup dengan jawaban belum ada. Karena bisa jadi disusul lagi dengan pertanyaan: “Asalku apa, dari mana, bagaimana asalku, dan sebagainya.
Jawaban pertanyaan “Mengapa dia meninggal?” yang dilontarkan ibu adalah “Karena adikmu sakit”.
“Mengapa adik temanku sakit tapi tidak meninggal, padahal sama-sama ke rumah sakit. Adik temanku pulang dalam keadaan sehat sedangkan adikku pulang dalam keadaan sudah meninggal?”
Saya tidak benar-benar ingat apa jawaban ibu saat itu. Yang jelas, ketika anak saya mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan masa kecil saya dulu (“Mengapa seseorang meninggal?”), saya jawab: “Karena sudah waktunya”.
Jawaban pertanyaan saya yang keempat (“Kemana kita setelah meninggal?”) membuat saya sering sulit tidur dan terbangun di tengah malam karena ketakutan. Ibu menjelaskan bahwa setelah kita meninggal, kita akan dihidupkan kembali dan hidup terus menerus. Kata-kata hidup terus begitu mengerikan, melelahkan, mengesalkan, dan menakutkan. Sebuah persepsi negatif tentang hari akhirat yang barangkali dipengaruhi oleh komik-komik yang saat itu beredar. Di dalamnya digambarkan manusia-manusia yang disiksa di neraka seperti disetrika punggung bagi yang tidak berpuasa, dililit ular besar bagi yang tidak shalat, digunting lidahnya dan tumbuh lagi kemudian digunting lagi dan seterusnya tiada berkesudahan. Gambaran tersebut lebih menempel kuat di benak kanak-kanak saya disbanding gambaran keindahan surganya yang mungkin juga digambarkan secara tidak seimbang.
Pertanyaan kelima (“Apa/siapakah saya, untuk apa saya dilahirkan?”) inilah yang sampai saat sekarang masih terus dicari jawaban sejatinya. Dari jawaban yang bersumber dari materi maupun ide, dari akal maupun persepsi wahyu, masih menimbulkan pertanyaan lanjutan. Karena bisa jadi pemahaman saya masih kanak-kanak. Atau pihak-pihak yang menjawabnya belum bisa menjelaskan persepsi mereka dengan bahasa yang bisa memuaskan persepsi saya. Barangkali saya hanya bisa menunggu saat-saat saya mentertawakan pertanyaan saya yang mungkin lucu itu. Kapankah itu? Bisa jadi hanya kelak di akhirat hakikat itu hanya akan terungkap.
Itulah kerja filsafat, sebuah usaha untuk mengungkap tentang hakikat atau inti mutlak sesuatu yang bersifat sangat dalam (radix).
Cerita panjang di atas hanya bermaksud mengungkapkan persepsi saya tentang kerja fikir yang sering tiada habisnya. Karena bukankah itu letak kemuliaan manusia dibanding makhluk Allah lainnya: berfikir tiada henti menghasilkan ilmu.
Ilmu, dengan berbagai cabangnya, terus berkembang. Tapi sejalan dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan manusia terus menerus dan makin dipersoalkan serta dipelajari. Ini menunjukkan bahwa orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang masih belum puas juga dengan keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan baru sudah timbul. Sehingga, pada awalnya ilmu hampir identik dengan pengetahuan, lama kelamaan ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan. Ketika disadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan dan makin rumit tanda-tanda gejalanya, maka hakikat ilmu pun mulai dipertanyakan. Maka berkembanglah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu tentu saja berlainan dengan ilmu filsafat. Jika ilmu filsafat adalah ilmu yang objek kajiannya filsafat, maka filsafat ilmu justru objek kajiannya adalah ilmu. Dalam filsafat ilmu dikaji secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu dimulai dari pertanyaan yang paling mendasar seperti: Apa ilmu? Bagaimana wujud hakiki ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan landasan ontologis. Selain pertanyaan landasan ontologis, perlu dijawab pula pertanyaan landasan epistimologis: Bagaimana ilmu didapat? Sumber ilmu itu apa? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Cara/teknik/sarana apa yang digunakan? Masih belum cukup dengan dua pertanyaan landasan tersebut, filsafat ilmu pun perlu menjawab pertanyaan landasan aksiologis: untuk apa ilmu tersebut digunakan? Bagaimana kaitan antara hal-hal yang dilakukan, dihasilkan, dan digunakan dengan kaidah-kaidah moral: etika dan estetika?
BAB II
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Hampir bisa dipastikan, setiap masyarakat memiliki atau setidaknya pernah memiliki mitos tertentu. Mitos-mitos yang saya tahu ketika masa kanak-kanak dulu diantaranya tidak boleh berkeliaran waktu sareupna (saat-saat menjelang matahari terbenam), nanti ditangkap sandekala, tidak boleh mandi di tampiyan (sumur) sawah tengah hari, nanti kasambet, kalau ada gempa orang-orang sibuk memukul kentongan sambil berteriak: “ Aya…aya…aya” sedangkan bapakku mengucapkan lailaha illallah berulang-ulang. Dulu orang-orang tua mengatakan bahwa suatu saat nanti dari kampung ke kecamatan (jaraknya 6 km) bisa ditempuh hanya dengan sekejap mata (waktu itu ditempuh dengan dua jam lebih perjalanan kaki). Sekarang memang terbukti hanya 15 menit waktu yang diperlukan.
Itulah mitos. Intinya memuat kepercayaan tentang adanya suatu eksistensi yang lain di balik wujud sesuatu. Keyakinan adanya keberadaan sesuatu di balik keberadaan alam ini beserta semua fenomenanya.
Rasa ingin tahu menjadi salah satu ciri manusia yang berakal dan berfikir dengan akalnya. Maka dia menjadikan alam dengan segala fenomenanya sebagai objek kajian dan penelitian. Terkadang mitos merupakan alat sederhana yang efektif untuk menjaga kelestarian alam dan keselamatan hidup manusia. Dengan “pamali” (larangan) mengambil hasil-hasil hutan larangan baik berupa floranya maupun faunanya, membuat kelestarian alam bisa dijaga, banjir longsor bisa dicegah, pemanasan global bisa ditunda. Kepercayaaan bahwa suatu saat jarak tempuh yang membutuhkan waktu tempuh lama menjadi sebentar membuat semangat menemukan dan menciptakan sesuatu, ataupun hanya sekedar menggunakan fasilitas tertentu. Dengan mobil misalnya. Sakitnya seseorang setelah mandi di sumur sawah saat matahari terik yang mereka sebut dengan istilah kasambet menjadi bisa dirasionalisasi dengan teori bahwa hal itu merupakan ungkapan kekagetan badan yang sedang panas disiram unsur air yang dingin.
Gambaran diatas bermaksud mengungkapkan manfaat-manfaat mitos yang setelah melalui proses pengambilan hikmah, pengertian dan rasionalisasi menjadi dasar ditemukannya pengetahuan dan pemahaman. Proses kajian dan penelitian sehingga sesuatu bisa dirasionalisasi merubah mitos menjadi logos (ilmu). Pengambilan hikmah dari suatu mitos menghasilkan kepantasan dan kelayakan yang menjadi sebuah system nilai yang didalamnya berisi baik dan buruk. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar lahirnya suatu peradaban.
Intinya, karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri , timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan di kalangan filosof Yunani (dimulai pada sekitar abad IX SM). Karena perhatian mereka yang begitu besar pada alam, tidaklah mengherankan jika kemudian mereka juga disebut dengan filosof alam.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM), sehingga ia digelari Bapak Filsafat. Ia mempertanyakan : “Apa sebenarnya asal usul ala mini?”. Pertanyaan ini sangat mendasar. Terlepas apapun jawabannya, namun yang penting harus dijawab dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal ala mini adalah air.
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540). Ia menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Karena itu ia tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam misal: air. Tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros. Heraklitos (540-480 SM) melihat alam semesta ini selalu berubah. Karena itu dia berkesimpulan, tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada. Semuanya menjadi. Ia berkesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahannya melainkan actor dan penyebabnya. Yaitu api.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Gerak alam yang terlihat adalah semu. Sejatinya alam itu diam.
Pythagoras (580-500 SM) mengembalikan sesuatu kepada bilangan. Bilangan adalah unsure utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu terutama ilmu pasti dan ilmu alam.
Setelah berakhirnya masa para filosofi alam, maka muncul masa transisi. Penelitan terhadap alam tidak menjadi focus utama tetapi sudah menjurus kepada penyelidikan tentang manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relative sehingga tidak akan ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolute.
Tokoh lain dari kaum Sofis adalah Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada. Kedua, bila sesuatu itu ada tidak akan dapat diketahui. Karena penginderaan itu sumber ilusi. Akal pun telah diperdaya oleh dilemma subjektifitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh positif gerakan kaum Sofis membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan bahwa persoalan pokok filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka membangkitkan jiwa humanisme. Tidak adanya jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika membuka peluang bagi para folosof untuk lebih kreatif lagi berfikir. Ilmu mendapat ruang yang sangat kondusif karena diberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori sehingga muncul sintesa baru. Dalam filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi mencari ilmu tidak terbatas.
Namun Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum Sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung kepada manusia. Dengan metode dialog yang dilakukan Socrates tentang sebuah konsep, ditemukanlah kebenaran universal.
Socrates berpendapat bahwa dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Sehingga pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara flsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM): murid Socrates. Menurut Plato kebenaran itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Ia mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Ia berpendapat, pandangan Heraklitos benar tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja. Sedangkan pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide yang bersifat abadi. Ide inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Ia yang pertamakali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Pembagian inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap Bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Begitulah awal perjalanan filsafat yang melahirkan perkembangan ilmu sampai ke masa kita sekarang ini. Hanya saja perkembangan ilmu ternyata tidak berarti mutlak sebagai rahmat bagi kehidupan manusia. Tidak jarang kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung, membawa dampak negative baik materil maupun spiritual.
BAB III
METAFISIKA
Saya mahasiswa S2 STAIN Cirebon. Tentu saja sudah menyelesaikan program S1. Bermacam-macam pendapat orang mengatakan tentang latar belakang di balik kesarjanaan saya. Orang tua beranggapan bahwa suksesnya saya menjadi sarjana adalah karena satu hal yaitu keinginan yang kuat (idea). Ditandai dengan saya tetap mau sekolah walaupun tidak pernah didaftarkan orang tua untuk masuk ke jenjang sekolah manapun, tetap semangat walaupun ke sekolah memakai seragam bekas ataupun baju main tanpa alas kaki, tetap rangking satu walaupun hampir tak pernah dibelikan buku-buku, tetap mau melanjutkan ke SMP walaupun teman-teman perempuan SD yang lain memilih menikah, tetap semangat walaupun harus menempuh jarak 6 km dengan berjalan kaki untuk bisa sampai ke SMP, tetap bisa menyelesaikan SMA walaupun dengan bekal seadanya, tetap menyelesaikan S1 dengan nilai cum laude walaupun tidak didukung dengan sarana materi yang relative memadai.
Lain pendapat orang tua lain pula pandangan orang-orang sekarang. Contoh: adik. Ia berpendapat kesarjanaan saya karena biaya pendidikan (materi) yang relative murah. Karena zaman sekarang, di mana keberadaan materi menjadi sesuatu yang mutlak dalam segala hal, tidak akan berhasil sebuah proses tanpa ada materi yang melatarbelakanginya.
Saya fikir, bisa jadi memang keinginan yang kuat memang suatu eksistensi di balik terwujudnya kesarjanaan saya. Tetapi bagaimana jika keinginan yang kuat itu tidak dibarengi dengan selusin buku tulis hadiah rangking satu yang didapatkan setiap tahun ketika SD? Apakah bisa tetap eksis di SMP tanpa buku-buku paket bekas kakak kelas? Apakah bisa menyelesaikan SMA dengan kondisi jauh dari orang tua tanpa tinggal di Pondok Pesantren dengan biaya yang sangat murah? Apakah bisa meraih gelar sarjana tanpa bantuan hasil ‘ngeles” ngaji anak-anak dosen ?
Kira-kira begitulah metafisika. Berasal dari bahasa Yunani, meta=di balik/sesudah, pyisika=nyata, kongkrit, dapat diukur dan dijangkau panca indra. Jadi metafisika adalah sebuah kajian terhadap eksistensi yang ada di balik sesuatu yang wujud. Pertanyaan-pertanyaan: Apakah ilmu yang sekarang eksis memiliki hubungan dengan dimensi metafisik? Bagaimana ilmu harus bersumber? Apakah murni fisik empiris? Atau ada kajian lain yang lebih mendalam? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penting dalam kajian metafisika dalam rumpun filsafat ilmu.
Aristoteles menganggap metafisika akan dan harus berpusat pada persoalan ‘barang’ dan ‘bentuk’. Bentuk sebagai pengganti idea yang digagas Plato dan berada di balik fisik.
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari keadaan atau kenyataan yang tampak. Melalui kajian ini penyebab pertama dari segala yang ada akan dikaji, sehingga manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah. Ia akan dituntu memiliki tanggungjawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Secara umum metafisika dapat dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum sering diistilahkan dengan ontology. Di dalam pemahaman ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme, menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paha mini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme, mengangap bahwa sumber yang asal itu materi bukan rohani.
b. Idealisme, dinamakan juga spiritualisme, menganggap bahwa sumber yang asal itu ide atau sesuatu yang bersifat ruh.
2. Dualisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari sesuatu itu bersumber dari dua: materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3. Pluralisme,berpandangan bahwa kenyataan ini terdiri dari banyak unsur.
4. Nihilisme, tidak mengakui validitas yang positif, realitas itu sebenarnya tidak ada.
Sedangkan metafisika khusus adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Setidaknya ada tiga bidang kajian metafisika khusus:
1. Kosmologi. Cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau asal-usul alam semesta.
2. Teologi. Mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama.
3. Antropologi. Cabang filsafat yang membicarakan tentang manusia.
BAB IV
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Rasa ingin tahu merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari makhluk Allah yang lain. Karena rasa ingin tahu itulah pengetahuan manusia berawal dan berkembang. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Pengetahuan dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Lebih dari itu, hal-hal baru dipikirkan manusia karena manusia hidup bukan hanya untu kelangsungan hidup. Namun kebudayaan pun dikembangkan sehingga memberi makna kepada kehidupan. Manusia “memanusiakan diri dalam hidupnya”. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai tjuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidup.
Proses perkembangan pengetahuan tidak akan berhenti selama manusia berfikir. Hatta dalam kondisi yang sudah berkembang pun tidak dilupakan kajian terhadap aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu. Kajian ini perlu dilakukan karena didasarkan pada: 1) Adanya perbedaan pandangan di kalangan filosof dan saintis tentang apa yang menjadi sumber ilmu; 2) Perbedaan ini ternyata menimbulkan konsekuensi pada perbedaan paradigma yang dianut masing-masing komunitas masyarakat dalam memandang dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Dunia Islam misalnya. Para filosof dan saintisnya, ternyata memiliki paradigma yang khusus dalam merumuskan smber ilmu pengetahuan. Berkembang pemikiran di kalanga mereka bahwa sumber utama ilmu pengetahuan itu adalah wahyu yang termanifestasikan dalam bentuk Al-Quran dan sunnah.
Berbeda dengan para filosof dan saintis Barat pada umumnya. Menurut pandangan mereka sumber ilmu pengetahuan itu adalah : Rasio/akal dan pengalaman/empiris. Mereka tidak menjadikan intuisi sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Mengapa perbedaan dalam penentuan sumber ilmu pengetahuan itu terjadi? Boleh jadi karena dipengaruhi oleh kondisi dan motivasi yang melatarbelakangi kedua komunitas ini. Kondisi dunia Barat yang dalam cengkeraman gereja menjadi motivasi pembebasan diri dari doktrin-doktrin gereja. Sedangkan bagi filosofis Muslim melahirkan ilmu justeru atas dorongan dan spirit wahyu. Sehingga Islam selain memperkenalkan sumber empiris dan rasional sebagai sumber ilmu pengetahuan, juga memperkenalkan sumber lainnya yaitu wahyu dan intuisi dengan penjelasan sebagai berikut;
1. Empirisme/pengalaman, manusia memperoleh pengetahuan bersumber dari
pengalaman inderawi. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan antara lain:
a. Keterbatasan indera: Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indera menipu: menurut orang yang sakit, gula terasa pahit.
c. Objek yang menipu: fatamorgana.
d. Berasal dari indera dan objek sekaligus: Mata tidak mampu melihat kerbau secara keseluruhan, dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
2. Rasionalisme/akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Dengan menggunakan akal, kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan indera dapat dikoreksi. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan. Seperti: kriteria untuk mengetahui kebenaran suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak.
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) lahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Panca indera mengumpulkan data sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan prinsip-prinsip universal.
3. Intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Merupakan sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Berbeda dengan intuisi, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pemberian Tuhan secara langsung kepada hambaNya yang terpilih: Nabi dan Rasul.
Dari ketiga aliran di atas, kita bisa bayangkan bahwa tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran akan berbeda antara teori satu dengan teori lainnya.
Teori Koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk dari hubungan fakta atau realita tetapi dari hubungan putusan-putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya. Jadi, antara putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan. Dengan demikian, suatu teori dianggap benar apabila tahan uji. Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang, diuji oleh orang lain.
Teori Korespondensi.
Menurut teori ini, sebuah pengertian disebut kebenaran apabila terdapat suatu fakta atau realita yang selaras dengan situasi aktual. Dengan demikian kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.
Teori Pragmatisme.
Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada asas manfaat, kegunaan, atau pengaruhnya yang memuaskan. Yang dimaksud dengan hasil yang memuaskan adalah:
1. Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2. Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis ntuk tetap ada.
BAB V
METODE BERPIKIR ILMIAH
Metode: cara., langkah-langkah, teknik. Ilmiah: bersifat keilmuan, secara pengetahuan. Metode berpikir ilmiah adalah cara, teknik, prosedur memperoleh pengetahuan melalui kerangka kerja ilmiah yang sistematis. Dilakukan agar ilmu berkembang dan tetap eksis serta mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Metode ilmiah adalah suatu prosedur atau cara ternetu untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesa yang ditentukan sebelumnnya. Metode ilmiah dipengaruhi unsure alam yang berubah dan bergerak secara dinamis dan teratur. Asas tunggal alam (natural law) menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Corak metode yang bersandar pada alam yang dinamis dan teratur menyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat kecenderungan yang positivistic.
Ditemukannya metode berpikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya ledakan kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi berpangku tangan terhadap kehendak alam. Kesanggupan mengembangkan pengetahuan inilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Jadi, nilai guna metode berpikir ilmiah adalah agar manusia terus menerus mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan kaum terdidik untk memecahkan masalah. Lain dengan kaum awam. Mereka menggunakan cara kerja yang biasanya tidak sistematis dan sering bernuansa subjektif. Kaum terdidik menyelesaikan masalah dengan prosedur berpikir ilmiah dengan karakteristik yang bersifat rasional (deduktif) dan teruji secara empiris (induktif).
Sikap ilmiah merupakan bagian penting dari prosedur berpikir ilmiah yang meliputi enam karakteristik:
1. Rasa ingin tahu sebagai pemicu.
2. Spekulatif untuk menguji hipotesis.
3. Objektif.
4. keterbukaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan.
5. Kesediaan untuk menunda penilaian jika penyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan.
6. Tentatif, tidak bersifat dogmatis terhadap hipotesis atau simpulan.
Untk mencapai apa yang disebut benar,seorang peneliti melakukan aktivitas ilmiah dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menyusun sesuatu yang disebut sebagai masalah.
2. Merumuskan masalah dalam bentuk yang operasional.
3. Menyusun hipotesa.
4. Menetapkan teknik dan menyusun instrument penelitian.
5. Mengumpulkan data yang diperlukan.
6. Melakukan analisa data.
7. Menggambarkan kesimpulan.
Dalam melaksanakan penelitian, para ilmuwan mempunyai dua aspek: individual dan sosial.
a. Aspek individual mengacu pada ilmu sebagai aktivitas ilmuwan.
b. Aspek sosial mengacu pada ilmu sebagai aktivitas suatu komunitas ilmiah dan kumpulan para ilmuwan.
BAB VI
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Kegiatan berpikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berpikir ilmiah adalah berpikir dengan langkah-langkah metode ilmiah seperti: perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literature, menguji hipotesis, menarik kesimpulan. Semua langkah-langkah berpikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat/sarana yang baik sehingga diharapkan hasil berpikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat Bantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmia secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berpikir maka ilmu ilmu merupakan gabungan antara pola berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peeranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan berpikir ilmiah tersebut.
Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berpikir berupa: Bahasa, logika, matematika, dan statistic.
BAB VII
ETIKA
Etika adala salah satu unsure penting yang terdapat dalam teori nilai. Kata teori nilai yang terdiri dari dua kata yakni teore dan nilai itu, tampaknya merupakan terjemahan dari bahasa yunani: logos (akal dan teori0 dan aksios (nilai, atau suatu yang berharga).
Para ahli filsafat sering menyebut teori nilai sama dengan aksiologi. Seperti diketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari tiga cabanga besar Filsafat ilmu, yakni: ontology, epistemology, dan aksiologi. Aksiologi sering disebut sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, criteria dan status metafisik dari nilai.
Nilai memiliki cirri dan karakter khusus. Setidaknya, dalam catatan Filsafat ilmu, nilai memiliki tiga cirri, yaitu :
1. Nilai dan subjek
2. Sikap Praktis
3. Sikap Pandang Subjektif
BAB VIII
ESTETIKA
Estetika sering terkait dengan persoalan seni dan rasa keindahan. Estetika merupakan bagian dari tri tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistimologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan keindahan itu sendiri (estetika).
Estetika berbicara mengenai hakikat keindahan. Selain itu estetika juga berbicara tentang teori mengenai seni, seni yang melukiskan bahasa dan perasaan.
Dengan demikian, estetika berarti suatu teori yang meliputi:
1. penyelidikan mengenai yang indah
2. Penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
3. Pengalaman yang bertalian dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan terhadap seni.
BAB IX
BAHASA ILMIAH
Bahasa dicirikan sebagai:
1. Serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi
2. Lambang dari serangkaian bunyi yang membentuk arti tertentu
Dengan bahasa manusia dapat mengkomunkasikan segenap pengalaman dan berpikir mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat bahasa pun ikut berkembang.
Kemampuan bahasa adalah bagaimana anak mengkontruksi pengetahuannya dan bisa menyampaikan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa adalah salah satu keunikan manusia.
Bahasa bagi manusia berfungsi sebagai:
1. Alat komunikasi atau fungsi komunikatif
2. Alat budaya, yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif.
Di dalam fungsi komunikatif bahasa terdapat tiga unsur bahasa yang digunakan untuk menyampaikan : perasaan (unsure emotif), sikap (unsure afektif), dan buah pikiran (unsure penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi ketiga unsur ini.
Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran dan komunikasi bebas dari pengaruh unsure emotif. Sedangkan perkembangan seni dipengaruhi oleh unsure emotif dan afektif.
Syarat komunikasi ilmiah adalah ;
1. bahasa harus bebas emotif
2. reproduktif artinya komunikasinya dapat dimengerti oleh yang menerima
kekurangan bahasa terletak pada :
1. peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya menginginkan penyampaian buah pikiran atau penalaran saja, sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik
2. arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang mengandung bahasa.
3. konotasi yang bersifat emosional
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
3. Ketika adik saya berusia 2,5 tahun meninggal, saya bertanya : “Mengapa dia meninggal?”,
4. “Kemana kita setelah meninggal?”,
5. “Apa/siapakah saya?” “Mengapa saya dilahirkan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meminta jawaban yang tidak cukup dengan satu kata atau satu pernyataan. Bahkan terkadang tidak cukup dengan satu periode tertentu. Misal: jawaban pertanyaan pertama mungkin baru relative dapat dipahami dengan standar relative benar ketika seorang manusia sudah sampai pada periode dewasa atau bahkan baru dapat disampaikan dengan jelas ketika periode kanak-kanak sudah terlewati. Sehingga ketika menonton tayangan iklan di televisi anak saya yang berusia 7 tahun berkata: “Umi, coba minum susu prenagen biar aku punya adik!”, saya hanya tertawa dan membayangkan anak saya kelak di masa dewasanya juga tertawa mentertawakan usulannya di masa kecil.
Pertanyaan kedua (“Ketika bapak dan ibu masih kecil, saya ada di mana?”) tidak cukup dengan jawaban belum ada. Karena bisa jadi disusul lagi dengan pertanyaan: “Asalku apa, dari mana, bagaimana asalku, dan sebagainya.
Jawaban pertanyaan “Mengapa dia meninggal?” yang dilontarkan ibu adalah “Karena adikmu sakit”.
“Mengapa adik temanku sakit tapi tidak meninggal, padahal sama-sama ke rumah sakit. Adik temanku pulang dalam keadaan sehat sedangkan adikku pulang dalam keadaan sudah meninggal?”
Saya tidak benar-benar ingat apa jawaban ibu saat itu. Yang jelas, ketika anak saya mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan masa kecil saya dulu (“Mengapa seseorang meninggal?”), saya jawab: “Karena sudah waktunya”.
Jawaban pertanyaan saya yang keempat (“Kemana kita setelah meninggal?”) membuat saya sering sulit tidur dan terbangun di tengah malam karena ketakutan. Ibu menjelaskan bahwa setelah kita meninggal, kita akan dihidupkan kembali dan hidup terus menerus. Kata-kata hidup terus begitu mengerikan, melelahkan, mengesalkan, dan menakutkan. Sebuah persepsi negatif tentang hari akhirat yang barangkali dipengaruhi oleh komik-komik yang saat itu beredar. Di dalamnya digambarkan manusia-manusia yang disiksa di neraka seperti disetrika punggung bagi yang tidak berpuasa, dililit ular besar bagi yang tidak shalat, digunting lidahnya dan tumbuh lagi kemudian digunting lagi dan seterusnya tiada berkesudahan. Gambaran tersebut lebih menempel kuat di benak kanak-kanak saya disbanding gambaran keindahan surganya yang mungkin juga digambarkan secara tidak seimbang.
Pertanyaan kelima (“Apa/siapakah saya, untuk apa saya dilahirkan?”) inilah yang sampai saat sekarang masih terus dicari jawaban sejatinya. Dari jawaban yang bersumber dari materi maupun ide, dari akal maupun persepsi wahyu, masih menimbulkan pertanyaan lanjutan. Karena bisa jadi pemahaman saya masih kanak-kanak. Atau pihak-pihak yang menjawabnya belum bisa menjelaskan persepsi mereka dengan bahasa yang bisa memuaskan persepsi saya. Barangkali saya hanya bisa menunggu saat-saat saya mentertawakan pertanyaan saya yang mungkin lucu itu. Kapankah itu? Bisa jadi hanya kelak di akhirat hakikat itu hanya akan terungkap.
Itulah kerja filsafat, sebuah usaha untuk mengungkap tentang hakikat atau inti mutlak sesuatu yang bersifat sangat dalam (radix).
Cerita panjang di atas hanya bermaksud mengungkapkan persepsi saya tentang kerja fikir yang sering tiada habisnya. Karena bukankah itu letak kemuliaan manusia dibanding makhluk Allah lainnya: berfikir tiada henti menghasilkan ilmu.
Ilmu, dengan berbagai cabangnya, terus berkembang. Tapi sejalan dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan manusia terus menerus dan makin dipersoalkan serta dipelajari. Ini menunjukkan bahwa orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang masih belum puas juga dengan keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan baru sudah timbul. Sehingga, pada awalnya ilmu hampir identik dengan pengetahuan, lama kelamaan ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan. Ketika disadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan dan makin rumit tanda-tanda gejalanya, maka hakikat ilmu pun mulai dipertanyakan. Maka berkembanglah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu tentu saja berlainan dengan ilmu filsafat. Jika ilmu filsafat adalah ilmu yang objek kajiannya filsafat, maka filsafat ilmu justru objek kajiannya adalah ilmu. Dalam filsafat ilmu dikaji secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu dimulai dari pertanyaan yang paling mendasar seperti: Apa ilmu? Bagaimana wujud hakiki ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan landasan ontologis. Selain pertanyaan landasan ontologis, perlu dijawab pula pertanyaan landasan epistimologis: Bagaimana ilmu didapat? Sumber ilmu itu apa? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Cara/teknik/sarana apa yang digunakan? Masih belum cukup dengan dua pertanyaan landasan tersebut, filsafat ilmu pun perlu menjawab pertanyaan landasan aksiologis: untuk apa ilmu tersebut digunakan? Bagaimana kaitan antara hal-hal yang dilakukan, dihasilkan, dan digunakan dengan kaidah-kaidah moral: etika dan estetika?
BAB II
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Hampir bisa dipastikan, setiap masyarakat memiliki atau setidaknya pernah memiliki mitos tertentu. Mitos-mitos yang saya tahu ketika masa kanak-kanak dulu diantaranya tidak boleh berkeliaran waktu sareupna (saat-saat menjelang matahari terbenam), nanti ditangkap sandekala, tidak boleh mandi di tampiyan (sumur) sawah tengah hari, nanti kasambet, kalau ada gempa orang-orang sibuk memukul kentongan sambil berteriak: “ Aya…aya…aya” sedangkan bapakku mengucapkan lailaha illallah berulang-ulang. Dulu orang-orang tua mengatakan bahwa suatu saat nanti dari kampung ke kecamatan (jaraknya 6 km) bisa ditempuh hanya dengan sekejap mata (waktu itu ditempuh dengan dua jam lebih perjalanan kaki). Sekarang memang terbukti hanya 15 menit waktu yang diperlukan.
Itulah mitos. Intinya memuat kepercayaan tentang adanya suatu eksistensi yang lain di balik wujud sesuatu. Keyakinan adanya keberadaan sesuatu di balik keberadaan alam ini beserta semua fenomenanya.
Rasa ingin tahu menjadi salah satu ciri manusia yang berakal dan berfikir dengan akalnya. Maka dia menjadikan alam dengan segala fenomenanya sebagai objek kajian dan penelitian. Terkadang mitos merupakan alat sederhana yang efektif untuk menjaga kelestarian alam dan keselamatan hidup manusia. Dengan “pamali” (larangan) mengambil hasil-hasil hutan larangan baik berupa floranya maupun faunanya, membuat kelestarian alam bisa dijaga, banjir longsor bisa dicegah, pemanasan global bisa ditunda. Kepercayaaan bahwa suatu saat jarak tempuh yang membutuhkan waktu tempuh lama menjadi sebentar membuat semangat menemukan dan menciptakan sesuatu, ataupun hanya sekedar menggunakan fasilitas tertentu. Dengan mobil misalnya. Sakitnya seseorang setelah mandi di sumur sawah saat matahari terik yang mereka sebut dengan istilah kasambet menjadi bisa dirasionalisasi dengan teori bahwa hal itu merupakan ungkapan kekagetan badan yang sedang panas disiram unsur air yang dingin.
Gambaran diatas bermaksud mengungkapkan manfaat-manfaat mitos yang setelah melalui proses pengambilan hikmah, pengertian dan rasionalisasi menjadi dasar ditemukannya pengetahuan dan pemahaman. Proses kajian dan penelitian sehingga sesuatu bisa dirasionalisasi merubah mitos menjadi logos (ilmu). Pengambilan hikmah dari suatu mitos menghasilkan kepantasan dan kelayakan yang menjadi sebuah system nilai yang didalamnya berisi baik dan buruk. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar lahirnya suatu peradaban.
Intinya, karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri , timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan di kalangan filosof Yunani (dimulai pada sekitar abad IX SM). Karena perhatian mereka yang begitu besar pada alam, tidaklah mengherankan jika kemudian mereka juga disebut dengan filosof alam.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM), sehingga ia digelari Bapak Filsafat. Ia mempertanyakan : “Apa sebenarnya asal usul ala mini?”. Pertanyaan ini sangat mendasar. Terlepas apapun jawabannya, namun yang penting harus dijawab dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal ala mini adalah air.
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540). Ia menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Karena itu ia tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam misal: air. Tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros. Heraklitos (540-480 SM) melihat alam semesta ini selalu berubah. Karena itu dia berkesimpulan, tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada. Semuanya menjadi. Ia berkesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahannya melainkan actor dan penyebabnya. Yaitu api.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Gerak alam yang terlihat adalah semu. Sejatinya alam itu diam.
Pythagoras (580-500 SM) mengembalikan sesuatu kepada bilangan. Bilangan adalah unsure utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu terutama ilmu pasti dan ilmu alam.
Setelah berakhirnya masa para filosofi alam, maka muncul masa transisi. Penelitan terhadap alam tidak menjadi focus utama tetapi sudah menjurus kepada penyelidikan tentang manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relative sehingga tidak akan ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolute.
Tokoh lain dari kaum Sofis adalah Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada. Kedua, bila sesuatu itu ada tidak akan dapat diketahui. Karena penginderaan itu sumber ilusi. Akal pun telah diperdaya oleh dilemma subjektifitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh positif gerakan kaum Sofis membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan bahwa persoalan pokok filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka membangkitkan jiwa humanisme. Tidak adanya jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika membuka peluang bagi para folosof untuk lebih kreatif lagi berfikir. Ilmu mendapat ruang yang sangat kondusif karena diberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori sehingga muncul sintesa baru. Dalam filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi mencari ilmu tidak terbatas.
Namun Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum Sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung kepada manusia. Dengan metode dialog yang dilakukan Socrates tentang sebuah konsep, ditemukanlah kebenaran universal.
Socrates berpendapat bahwa dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Sehingga pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara flsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM): murid Socrates. Menurut Plato kebenaran itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Ia mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Ia berpendapat, pandangan Heraklitos benar tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja. Sedangkan pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide yang bersifat abadi. Ide inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Ia yang pertamakali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Pembagian inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap Bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Begitulah awal perjalanan filsafat yang melahirkan perkembangan ilmu sampai ke masa kita sekarang ini. Hanya saja perkembangan ilmu ternyata tidak berarti mutlak sebagai rahmat bagi kehidupan manusia. Tidak jarang kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung, membawa dampak negative baik materil maupun spiritual.
BAB III
METAFISIKA
Saya mahasiswa S2 STAIN Cirebon. Tentu saja sudah menyelesaikan program S1. Bermacam-macam pendapat orang mengatakan tentang latar belakang di balik kesarjanaan saya. Orang tua beranggapan bahwa suksesnya saya menjadi sarjana adalah karena satu hal yaitu keinginan yang kuat (idea). Ditandai dengan saya tetap mau sekolah walaupun tidak pernah didaftarkan orang tua untuk masuk ke jenjang sekolah manapun, tetap semangat walaupun ke sekolah memakai seragam bekas ataupun baju main tanpa alas kaki, tetap rangking satu walaupun hampir tak pernah dibelikan buku-buku, tetap mau melanjutkan ke SMP walaupun teman-teman perempuan SD yang lain memilih menikah, tetap semangat walaupun harus menempuh jarak 6 km dengan berjalan kaki untuk bisa sampai ke SMP, tetap bisa menyelesaikan SMA walaupun dengan bekal seadanya, tetap menyelesaikan S1 dengan nilai cum laude walaupun tidak didukung dengan sarana materi yang relative memadai.
Lain pendapat orang tua lain pula pandangan orang-orang sekarang. Contoh: adik. Ia berpendapat kesarjanaan saya karena biaya pendidikan (materi) yang relative murah. Karena zaman sekarang, di mana keberadaan materi menjadi sesuatu yang mutlak dalam segala hal, tidak akan berhasil sebuah proses tanpa ada materi yang melatarbelakanginya.
Saya fikir, bisa jadi memang keinginan yang kuat memang suatu eksistensi di balik terwujudnya kesarjanaan saya. Tetapi bagaimana jika keinginan yang kuat itu tidak dibarengi dengan selusin buku tulis hadiah rangking satu yang didapatkan setiap tahun ketika SD? Apakah bisa tetap eksis di SMP tanpa buku-buku paket bekas kakak kelas? Apakah bisa menyelesaikan SMA dengan kondisi jauh dari orang tua tanpa tinggal di Pondok Pesantren dengan biaya yang sangat murah? Apakah bisa meraih gelar sarjana tanpa bantuan hasil ‘ngeles” ngaji anak-anak dosen ?
Kira-kira begitulah metafisika. Berasal dari bahasa Yunani, meta=di balik/sesudah, pyisika=nyata, kongkrit, dapat diukur dan dijangkau panca indra. Jadi metafisika adalah sebuah kajian terhadap eksistensi yang ada di balik sesuatu yang wujud. Pertanyaan-pertanyaan: Apakah ilmu yang sekarang eksis memiliki hubungan dengan dimensi metafisik? Bagaimana ilmu harus bersumber? Apakah murni fisik empiris? Atau ada kajian lain yang lebih mendalam? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penting dalam kajian metafisika dalam rumpun filsafat ilmu.
Aristoteles menganggap metafisika akan dan harus berpusat pada persoalan ‘barang’ dan ‘bentuk’. Bentuk sebagai pengganti idea yang digagas Plato dan berada di balik fisik.
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari keadaan atau kenyataan yang tampak. Melalui kajian ini penyebab pertama dari segala yang ada akan dikaji, sehingga manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah. Ia akan dituntu memiliki tanggungjawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Secara umum metafisika dapat dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum sering diistilahkan dengan ontology. Di dalam pemahaman ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme, menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paha mini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme, mengangap bahwa sumber yang asal itu materi bukan rohani.
b. Idealisme, dinamakan juga spiritualisme, menganggap bahwa sumber yang asal itu ide atau sesuatu yang bersifat ruh.
2. Dualisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari sesuatu itu bersumber dari dua: materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3. Pluralisme,berpandangan bahwa kenyataan ini terdiri dari banyak unsur.
4. Nihilisme, tidak mengakui validitas yang positif, realitas itu sebenarnya tidak ada.
Sedangkan metafisika khusus adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Setidaknya ada tiga bidang kajian metafisika khusus:
1. Kosmologi. Cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau asal-usul alam semesta.
2. Teologi. Mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama.
3. Antropologi. Cabang filsafat yang membicarakan tentang manusia.
BAB IV
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Rasa ingin tahu merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari makhluk Allah yang lain. Karena rasa ingin tahu itulah pengetahuan manusia berawal dan berkembang. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Pengetahuan dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Lebih dari itu, hal-hal baru dipikirkan manusia karena manusia hidup bukan hanya untu kelangsungan hidup. Namun kebudayaan pun dikembangkan sehingga memberi makna kepada kehidupan. Manusia “memanusiakan diri dalam hidupnya”. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai tjuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidup.
Proses perkembangan pengetahuan tidak akan berhenti selama manusia berfikir. Hatta dalam kondisi yang sudah berkembang pun tidak dilupakan kajian terhadap aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu. Kajian ini perlu dilakukan karena didasarkan pada: 1) Adanya perbedaan pandangan di kalangan filosof dan saintis tentang apa yang menjadi sumber ilmu; 2) Perbedaan ini ternyata menimbulkan konsekuensi pada perbedaan paradigma yang dianut masing-masing komunitas masyarakat dalam memandang dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Dunia Islam misalnya. Para filosof dan saintisnya, ternyata memiliki paradigma yang khusus dalam merumuskan smber ilmu pengetahuan. Berkembang pemikiran di kalanga mereka bahwa sumber utama ilmu pengetahuan itu adalah wahyu yang termanifestasikan dalam bentuk Al-Quran dan sunnah.
Berbeda dengan para filosof dan saintis Barat pada umumnya. Menurut pandangan mereka sumber ilmu pengetahuan itu adalah : Rasio/akal dan pengalaman/empiris. Mereka tidak menjadikan intuisi sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Mengapa perbedaan dalam penentuan sumber ilmu pengetahuan itu terjadi? Boleh jadi karena dipengaruhi oleh kondisi dan motivasi yang melatarbelakangi kedua komunitas ini. Kondisi dunia Barat yang dalam cengkeraman gereja menjadi motivasi pembebasan diri dari doktrin-doktrin gereja. Sedangkan bagi filosofis Muslim melahirkan ilmu justeru atas dorongan dan spirit wahyu. Sehingga Islam selain memperkenalkan sumber empiris dan rasional sebagai sumber ilmu pengetahuan, juga memperkenalkan sumber lainnya yaitu wahyu dan intuisi dengan penjelasan sebagai berikut;
1. Empirisme/pengalaman, manusia memperoleh pengetahuan bersumber dari
pengalaman inderawi. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan antara lain:
a. Keterbatasan indera: Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indera menipu: menurut orang yang sakit, gula terasa pahit.
c. Objek yang menipu: fatamorgana.
d. Berasal dari indera dan objek sekaligus: Mata tidak mampu melihat kerbau secara keseluruhan, dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
2. Rasionalisme/akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Dengan menggunakan akal, kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan indera dapat dikoreksi. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan. Seperti: kriteria untuk mengetahui kebenaran suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak.
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) lahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Panca indera mengumpulkan data sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan prinsip-prinsip universal.
3. Intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Merupakan sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Berbeda dengan intuisi, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pemberian Tuhan secara langsung kepada hambaNya yang terpilih: Nabi dan Rasul.
Dari ketiga aliran di atas, kita bisa bayangkan bahwa tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran akan berbeda antara teori satu dengan teori lainnya.
Teori Koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk dari hubungan fakta atau realita tetapi dari hubungan putusan-putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya. Jadi, antara putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan. Dengan demikian, suatu teori dianggap benar apabila tahan uji. Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang, diuji oleh orang lain.
Teori Korespondensi.
Menurut teori ini, sebuah pengertian disebut kebenaran apabila terdapat suatu fakta atau realita yang selaras dengan situasi aktual. Dengan demikian kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.
Teori Pragmatisme.
Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada asas manfaat, kegunaan, atau pengaruhnya yang memuaskan. Yang dimaksud dengan hasil yang memuaskan adalah:
1. Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2. Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis ntuk tetap ada.
BAB V
METODE BERPIKIR ILMIAH
Metode: cara., langkah-langkah, teknik. Ilmiah: bersifat keilmuan, secara pengetahuan. Metode berpikir ilmiah adalah cara, teknik, prosedur memperoleh pengetahuan melalui kerangka kerja ilmiah yang sistematis. Dilakukan agar ilmu berkembang dan tetap eksis serta mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Metode ilmiah adalah suatu prosedur atau cara ternetu untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesa yang ditentukan sebelumnnya. Metode ilmiah dipengaruhi unsure alam yang berubah dan bergerak secara dinamis dan teratur. Asas tunggal alam (natural law) menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Corak metode yang bersandar pada alam yang dinamis dan teratur menyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat kecenderungan yang positivistic.
Ditemukannya metode berpikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya ledakan kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi berpangku tangan terhadap kehendak alam. Kesanggupan mengembangkan pengetahuan inilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Jadi, nilai guna metode berpikir ilmiah adalah agar manusia terus menerus mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan kaum terdidik untk memecahkan masalah. Lain dengan kaum awam. Mereka menggunakan cara kerja yang biasanya tidak sistematis dan sering bernuansa subjektif. Kaum terdidik menyelesaikan masalah dengan prosedur berpikir ilmiah dengan karakteristik yang bersifat rasional (deduktif) dan teruji secara empiris (induktif).
Sikap ilmiah merupakan bagian penting dari prosedur berpikir ilmiah yang meliputi enam karakteristik:
1. Rasa ingin tahu sebagai pemicu.
2. Spekulatif untuk menguji hipotesis.
3. Objektif.
4. keterbukaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan.
5. Kesediaan untuk menunda penilaian jika penyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan.
6. Tentatif, tidak bersifat dogmatis terhadap hipotesis atau simpulan.
Untk mencapai apa yang disebut benar,seorang peneliti melakukan aktivitas ilmiah dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menyusun sesuatu yang disebut sebagai masalah.
2. Merumuskan masalah dalam bentuk yang operasional.
3. Menyusun hipotesa.
4. Menetapkan teknik dan menyusun instrument penelitian.
5. Mengumpulkan data yang diperlukan.
6. Melakukan analisa data.
7. Menggambarkan kesimpulan.
Dalam melaksanakan penelitian, para ilmuwan mempunyai dua aspek: individual dan sosial.
a. Aspek individual mengacu pada ilmu sebagai aktivitas ilmuwan.
b. Aspek sosial mengacu pada ilmu sebagai aktivitas suatu komunitas ilmiah dan kumpulan para ilmuwan.
BAB VI
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Kegiatan berpikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berpikir ilmiah adalah berpikir dengan langkah-langkah metode ilmiah seperti: perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literature, menguji hipotesis, menarik kesimpulan. Semua langkah-langkah berpikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat/sarana yang baik sehingga diharapkan hasil berpikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat Bantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmia secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berpikir maka ilmu ilmu merupakan gabungan antara pola berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peeranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan berpikir ilmiah tersebut.
Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berpikir berupa: Bahasa, logika, matematika, dan statistic.
BAB VII
ETIKA
Etika adala salah satu unsure penting yang terdapat dalam teori nilai. Kata teori nilai yang terdiri dari dua kata yakni teore dan nilai itu, tampaknya merupakan terjemahan dari bahasa yunani: logos (akal dan teori0 dan aksios (nilai, atau suatu yang berharga).
Para ahli filsafat sering menyebut teori nilai sama dengan aksiologi. Seperti diketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari tiga cabanga besar Filsafat ilmu, yakni: ontology, epistemology, dan aksiologi. Aksiologi sering disebut sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, criteria dan status metafisik dari nilai.
Nilai memiliki cirri dan karakter khusus. Setidaknya, dalam catatan Filsafat ilmu, nilai memiliki tiga cirri, yaitu :
1. Nilai dan subjek
2. Sikap Praktis
3. Sikap Pandang Subjektif
BAB VIII
ESTETIKA
Estetika sering terkait dengan persoalan seni dan rasa keindahan. Estetika merupakan bagian dari tri tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistimologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan keindahan itu sendiri (estetika).
Estetika berbicara mengenai hakikat keindahan. Selain itu estetika juga berbicara tentang teori mengenai seni, seni yang melukiskan bahasa dan perasaan.
Dengan demikian, estetika berarti suatu teori yang meliputi:
1. penyelidikan mengenai yang indah
2. Penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
3. Pengalaman yang bertalian dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan terhadap seni.
BAB IX
BAHASA ILMIAH
Bahasa dicirikan sebagai:
1. Serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi
2. Lambang dari serangkaian bunyi yang membentuk arti tertentu
Dengan bahasa manusia dapat mengkomunkasikan segenap pengalaman dan berpikir mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat bahasa pun ikut berkembang.
Kemampuan bahasa adalah bagaimana anak mengkontruksi pengetahuannya dan bisa menyampaikan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa adalah salah satu keunikan manusia.
Bahasa bagi manusia berfungsi sebagai:
1. Alat komunikasi atau fungsi komunikatif
2. Alat budaya, yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif.
Di dalam fungsi komunikatif bahasa terdapat tiga unsur bahasa yang digunakan untuk menyampaikan : perasaan (unsure emotif), sikap (unsure afektif), dan buah pikiran (unsure penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi ketiga unsur ini.
Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran dan komunikasi bebas dari pengaruh unsure emotif. Sedangkan perkembangan seni dipengaruhi oleh unsure emotif dan afektif.
Syarat komunikasi ilmiah adalah ;
1. bahasa harus bebas emotif
2. reproduktif artinya komunikasinya dapat dimengerti oleh yang menerima
kekurangan bahasa terletak pada :
1. peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya menginginkan penyampaian buah pikiran atau penalaran saja, sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik
2. arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang mengandung bahasa.
3. konotasi yang bersifat emosional
Langganan:
Postingan (Atom)