BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
BAB I
ILMU DAN FILSAFAT
Dalam beberapa hal, istilah ilmu dan pengetahuan terkadang disamakan. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat tidak ditemukannya terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia kecuali pengetahuan. Kata ‘ilmu’ yang berasal dari bahasa Arab, arti dasarnya adalah kejelasan. Sehingga setiap devariasi kata ‘ilmu’ mengandung unsur kejelasan. Dengan demikian, ‘ilmu’ dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dari gambaran di atas, dapat ditemukan perbedaan sekaligus hubungan antara ‘ilmu’ dan pengetahuan. ‘Ilmu’ diawali oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’ jika mengandung unsur ‘jelas’. Karena ada syarat ‘jelas’ yang harus dipenuhi agar pengetahuan menjadi ilmu maka tidak semua pengetahuan dapat menjadi ‘ilmu’. Sesuatu disebut jelas karena mempunyai ciri, tanda, sistematika, terukur, terbuka, universal, dan objektif. Ilmu bagaikan sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang sudah diraut, dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat-tempat lain yang belum tersusun baik. Jadi, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Induk ilmu adalah filsafat. Kerja filsafat sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan fenomena- fenomena kecenderungan mereka terhadap filsafat. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang sesuatu yang harus dijawab dengan jawaban yang sangat jelas tanda-tandanya, prosesnya, sebab akibatnya, awal akhirnya, dan harus disampaikan dengan pemilihan kata yang jelas.
Setiap kita, manusia dewasa, pasti sudah melewati masa kanak-kanak dan pasti pernah atau sering atau bahkan sangat sering mempertanyakan tentang sesuatu. Contoh pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya:
1. Ketika ibu saya mengandung, saya bertanya: “Bagaimana adik bayi ada di perut ibu?”,
2. “Ketika ibu dan bapak masih kecil, saya di mana?”,
3. Ketika adik saya berusia 2,5 tahun meninggal, saya bertanya : “Mengapa dia meninggal?”,
4. “Kemana kita setelah meninggal?”,
5. “Apa/siapakah saya?” “Mengapa saya dilahirkan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meminta jawaban yang tidak cukup dengan satu kata atau satu pernyataan. Bahkan terkadang tidak cukup dengan satu periode tertentu. Misal: jawaban pertanyaan pertama mungkin baru relative dapat dipahami dengan standar relative benar ketika seorang manusia sudah sampai pada periode dewasa atau bahkan baru dapat disampaikan dengan jelas ketika periode kanak-kanak sudah terlewati. Sehingga ketika menonton tayangan iklan di televisi anak saya yang berusia 7 tahun berkata: “Umi, coba minum susu prenagen biar aku punya adik!”, saya hanya tertawa dan membayangkan anak saya kelak di masa dewasanya juga tertawa mentertawakan usulannya di masa kecil.
Pertanyaan kedua (“Ketika bapak dan ibu masih kecil, saya ada di mana?”) tidak cukup dengan jawaban belum ada. Karena bisa jadi disusul lagi dengan pertanyaan: “Asalku apa, dari mana, bagaimana asalku, dan sebagainya.
Jawaban pertanyaan “Mengapa dia meninggal?” yang dilontarkan ibu adalah “Karena adikmu sakit”.
“Mengapa adik temanku sakit tapi tidak meninggal, padahal sama-sama ke rumah sakit. Adik temanku pulang dalam keadaan sehat sedangkan adikku pulang dalam keadaan sudah meninggal?”
Saya tidak benar-benar ingat apa jawaban ibu saat itu. Yang jelas, ketika anak saya mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan masa kecil saya dulu (“Mengapa seseorang meninggal?”), saya jawab: “Karena sudah waktunya”.
Jawaban pertanyaan saya yang keempat (“Kemana kita setelah meninggal?”) membuat saya sering sulit tidur dan terbangun di tengah malam karena ketakutan. Ibu menjelaskan bahwa setelah kita meninggal, kita akan dihidupkan kembali dan hidup terus menerus. Kata-kata hidup terus begitu mengerikan, melelahkan, mengesalkan, dan menakutkan. Sebuah persepsi negatif tentang hari akhirat yang barangkali dipengaruhi oleh komik-komik yang saat itu beredar. Di dalamnya digambarkan manusia-manusia yang disiksa di neraka seperti disetrika punggung bagi yang tidak berpuasa, dililit ular besar bagi yang tidak shalat, digunting lidahnya dan tumbuh lagi kemudian digunting lagi dan seterusnya tiada berkesudahan. Gambaran tersebut lebih menempel kuat di benak kanak-kanak saya disbanding gambaran keindahan surganya yang mungkin juga digambarkan secara tidak seimbang.
Pertanyaan kelima (“Apa/siapakah saya, untuk apa saya dilahirkan?”) inilah yang sampai saat sekarang masih terus dicari jawaban sejatinya. Dari jawaban yang bersumber dari materi maupun ide, dari akal maupun persepsi wahyu, masih menimbulkan pertanyaan lanjutan. Karena bisa jadi pemahaman saya masih kanak-kanak. Atau pihak-pihak yang menjawabnya belum bisa menjelaskan persepsi mereka dengan bahasa yang bisa memuaskan persepsi saya. Barangkali saya hanya bisa menunggu saat-saat saya mentertawakan pertanyaan saya yang mungkin lucu itu. Kapankah itu? Bisa jadi hanya kelak di akhirat hakikat itu hanya akan terungkap.
Itulah kerja filsafat, sebuah usaha untuk mengungkap tentang hakikat atau inti mutlak sesuatu yang bersifat sangat dalam (radix).
Cerita panjang di atas hanya bermaksud mengungkapkan persepsi saya tentang kerja fikir yang sering tiada habisnya. Karena bukankah itu letak kemuliaan manusia dibanding makhluk Allah lainnya: berfikir tiada henti menghasilkan ilmu.
Ilmu, dengan berbagai cabangnya, terus berkembang. Tapi sejalan dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan manusia terus menerus dan makin dipersoalkan serta dipelajari. Ini menunjukkan bahwa orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang masih belum puas juga dengan keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan baru sudah timbul. Sehingga, pada awalnya ilmu hampir identik dengan pengetahuan, lama kelamaan ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan. Ketika disadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan dan makin rumit tanda-tanda gejalanya, maka hakikat ilmu pun mulai dipertanyakan. Maka berkembanglah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu tentu saja berlainan dengan ilmu filsafat. Jika ilmu filsafat adalah ilmu yang objek kajiannya filsafat, maka filsafat ilmu justru objek kajiannya adalah ilmu. Dalam filsafat ilmu dikaji secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu dimulai dari pertanyaan yang paling mendasar seperti: Apa ilmu? Bagaimana wujud hakiki ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan landasan ontologis. Selain pertanyaan landasan ontologis, perlu dijawab pula pertanyaan landasan epistimologis: Bagaimana ilmu didapat? Sumber ilmu itu apa? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Cara/teknik/sarana apa yang digunakan? Masih belum cukup dengan dua pertanyaan landasan tersebut, filsafat ilmu pun perlu menjawab pertanyaan landasan aksiologis: untuk apa ilmu tersebut digunakan? Bagaimana kaitan antara hal-hal yang dilakukan, dihasilkan, dan digunakan dengan kaidah-kaidah moral: etika dan estetika?
BAB II
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Hampir bisa dipastikan, setiap masyarakat memiliki atau setidaknya pernah memiliki mitos tertentu. Mitos-mitos yang saya tahu ketika masa kanak-kanak dulu diantaranya tidak boleh berkeliaran waktu sareupna (saat-saat menjelang matahari terbenam), nanti ditangkap sandekala, tidak boleh mandi di tampiyan (sumur) sawah tengah hari, nanti kasambet, kalau ada gempa orang-orang sibuk memukul kentongan sambil berteriak: “ Aya…aya…aya” sedangkan bapakku mengucapkan lailaha illallah berulang-ulang. Dulu orang-orang tua mengatakan bahwa suatu saat nanti dari kampung ke kecamatan (jaraknya 6 km) bisa ditempuh hanya dengan sekejap mata (waktu itu ditempuh dengan dua jam lebih perjalanan kaki). Sekarang memang terbukti hanya 15 menit waktu yang diperlukan.
Itulah mitos. Intinya memuat kepercayaan tentang adanya suatu eksistensi yang lain di balik wujud sesuatu. Keyakinan adanya keberadaan sesuatu di balik keberadaan alam ini beserta semua fenomenanya.
Rasa ingin tahu menjadi salah satu ciri manusia yang berakal dan berfikir dengan akalnya. Maka dia menjadikan alam dengan segala fenomenanya sebagai objek kajian dan penelitian. Terkadang mitos merupakan alat sederhana yang efektif untuk menjaga kelestarian alam dan keselamatan hidup manusia. Dengan “pamali” (larangan) mengambil hasil-hasil hutan larangan baik berupa floranya maupun faunanya, membuat kelestarian alam bisa dijaga, banjir longsor bisa dicegah, pemanasan global bisa ditunda. Kepercayaaan bahwa suatu saat jarak tempuh yang membutuhkan waktu tempuh lama menjadi sebentar membuat semangat menemukan dan menciptakan sesuatu, ataupun hanya sekedar menggunakan fasilitas tertentu. Dengan mobil misalnya. Sakitnya seseorang setelah mandi di sumur sawah saat matahari terik yang mereka sebut dengan istilah kasambet menjadi bisa dirasionalisasi dengan teori bahwa hal itu merupakan ungkapan kekagetan badan yang sedang panas disiram unsur air yang dingin.
Gambaran diatas bermaksud mengungkapkan manfaat-manfaat mitos yang setelah melalui proses pengambilan hikmah, pengertian dan rasionalisasi menjadi dasar ditemukannya pengetahuan dan pemahaman. Proses kajian dan penelitian sehingga sesuatu bisa dirasionalisasi merubah mitos menjadi logos (ilmu). Pengambilan hikmah dari suatu mitos menghasilkan kepantasan dan kelayakan yang menjadi sebuah system nilai yang didalamnya berisi baik dan buruk. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar lahirnya suatu peradaban.
Intinya, karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri , timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan di kalangan filosof Yunani (dimulai pada sekitar abad IX SM). Karena perhatian mereka yang begitu besar pada alam, tidaklah mengherankan jika kemudian mereka juga disebut dengan filosof alam.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM), sehingga ia digelari Bapak Filsafat. Ia mempertanyakan : “Apa sebenarnya asal usul ala mini?”. Pertanyaan ini sangat mendasar. Terlepas apapun jawabannya, namun yang penting harus dijawab dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal ala mini adalah air.
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540). Ia menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Karena itu ia tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam misal: air. Tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros. Heraklitos (540-480 SM) melihat alam semesta ini selalu berubah. Karena itu dia berkesimpulan, tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada. Semuanya menjadi. Ia berkesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahannya melainkan actor dan penyebabnya. Yaitu api.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Gerak alam yang terlihat adalah semu. Sejatinya alam itu diam.
Pythagoras (580-500 SM) mengembalikan sesuatu kepada bilangan. Bilangan adalah unsure utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu terutama ilmu pasti dan ilmu alam.
Setelah berakhirnya masa para filosofi alam, maka muncul masa transisi. Penelitan terhadap alam tidak menjadi focus utama tetapi sudah menjurus kepada penyelidikan tentang manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relative sehingga tidak akan ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolute.
Tokoh lain dari kaum Sofis adalah Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada. Kedua, bila sesuatu itu ada tidak akan dapat diketahui. Karena penginderaan itu sumber ilusi. Akal pun telah diperdaya oleh dilemma subjektifitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh positif gerakan kaum Sofis membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan bahwa persoalan pokok filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka membangkitkan jiwa humanisme. Tidak adanya jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika membuka peluang bagi para folosof untuk lebih kreatif lagi berfikir. Ilmu mendapat ruang yang sangat kondusif karena diberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori sehingga muncul sintesa baru. Dalam filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi mencari ilmu tidak terbatas.
Namun Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum Sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung kepada manusia. Dengan metode dialog yang dilakukan Socrates tentang sebuah konsep, ditemukanlah kebenaran universal.
Socrates berpendapat bahwa dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Sehingga pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara flsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM): murid Socrates. Menurut Plato kebenaran itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Ia mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Ia berpendapat, pandangan Heraklitos benar tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja. Sedangkan pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide yang bersifat abadi. Ide inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Ia yang pertamakali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Pembagian inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap Bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Begitulah awal perjalanan filsafat yang melahirkan perkembangan ilmu sampai ke masa kita sekarang ini. Hanya saja perkembangan ilmu ternyata tidak berarti mutlak sebagai rahmat bagi kehidupan manusia. Tidak jarang kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung, membawa dampak negative baik materil maupun spiritual.
BAB III
METAFISIKA
Saya mahasiswa S2 STAIN Cirebon. Tentu saja sudah menyelesaikan program S1. Bermacam-macam pendapat orang mengatakan tentang latar belakang di balik kesarjanaan saya. Orang tua beranggapan bahwa suksesnya saya menjadi sarjana adalah karena satu hal yaitu keinginan yang kuat (idea). Ditandai dengan saya tetap mau sekolah walaupun tidak pernah didaftarkan orang tua untuk masuk ke jenjang sekolah manapun, tetap semangat walaupun ke sekolah memakai seragam bekas ataupun baju main tanpa alas kaki, tetap rangking satu walaupun hampir tak pernah dibelikan buku-buku, tetap mau melanjutkan ke SMP walaupun teman-teman perempuan SD yang lain memilih menikah, tetap semangat walaupun harus menempuh jarak 6 km dengan berjalan kaki untuk bisa sampai ke SMP, tetap bisa menyelesaikan SMA walaupun dengan bekal seadanya, tetap menyelesaikan S1 dengan nilai cum laude walaupun tidak didukung dengan sarana materi yang relative memadai.
Lain pendapat orang tua lain pula pandangan orang-orang sekarang. Contoh: adik. Ia berpendapat kesarjanaan saya karena biaya pendidikan (materi) yang relative murah. Karena zaman sekarang, di mana keberadaan materi menjadi sesuatu yang mutlak dalam segala hal, tidak akan berhasil sebuah proses tanpa ada materi yang melatarbelakanginya.
Saya fikir, bisa jadi memang keinginan yang kuat memang suatu eksistensi di balik terwujudnya kesarjanaan saya. Tetapi bagaimana jika keinginan yang kuat itu tidak dibarengi dengan selusin buku tulis hadiah rangking satu yang didapatkan setiap tahun ketika SD? Apakah bisa tetap eksis di SMP tanpa buku-buku paket bekas kakak kelas? Apakah bisa menyelesaikan SMA dengan kondisi jauh dari orang tua tanpa tinggal di Pondok Pesantren dengan biaya yang sangat murah? Apakah bisa meraih gelar sarjana tanpa bantuan hasil ‘ngeles” ngaji anak-anak dosen ?
Kira-kira begitulah metafisika. Berasal dari bahasa Yunani, meta=di balik/sesudah, pyisika=nyata, kongkrit, dapat diukur dan dijangkau panca indra. Jadi metafisika adalah sebuah kajian terhadap eksistensi yang ada di balik sesuatu yang wujud. Pertanyaan-pertanyaan: Apakah ilmu yang sekarang eksis memiliki hubungan dengan dimensi metafisik? Bagaimana ilmu harus bersumber? Apakah murni fisik empiris? Atau ada kajian lain yang lebih mendalam? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penting dalam kajian metafisika dalam rumpun filsafat ilmu.
Aristoteles menganggap metafisika akan dan harus berpusat pada persoalan ‘barang’ dan ‘bentuk’. Bentuk sebagai pengganti idea yang digagas Plato dan berada di balik fisik.
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari keadaan atau kenyataan yang tampak. Melalui kajian ini penyebab pertama dari segala yang ada akan dikaji, sehingga manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah. Ia akan dituntu memiliki tanggungjawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Secara umum metafisika dapat dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum sering diistilahkan dengan ontology. Di dalam pemahaman ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme, menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paha mini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme, mengangap bahwa sumber yang asal itu materi bukan rohani.
b. Idealisme, dinamakan juga spiritualisme, menganggap bahwa sumber yang asal itu ide atau sesuatu yang bersifat ruh.
2. Dualisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari sesuatu itu bersumber dari dua: materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3. Pluralisme,berpandangan bahwa kenyataan ini terdiri dari banyak unsur.
4. Nihilisme, tidak mengakui validitas yang positif, realitas itu sebenarnya tidak ada.
Sedangkan metafisika khusus adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Setidaknya ada tiga bidang kajian metafisika khusus:
1. Kosmologi. Cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau asal-usul alam semesta.
2. Teologi. Mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama.
3. Antropologi. Cabang filsafat yang membicarakan tentang manusia.
BAB IV
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Rasa ingin tahu merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari makhluk Allah yang lain. Karena rasa ingin tahu itulah pengetahuan manusia berawal dan berkembang. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Pengetahuan dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Lebih dari itu, hal-hal baru dipikirkan manusia karena manusia hidup bukan hanya untu kelangsungan hidup. Namun kebudayaan pun dikembangkan sehingga memberi makna kepada kehidupan. Manusia “memanusiakan diri dalam hidupnya”. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai tjuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidup.
Proses perkembangan pengetahuan tidak akan berhenti selama manusia berfikir. Hatta dalam kondisi yang sudah berkembang pun tidak dilupakan kajian terhadap aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu. Kajian ini perlu dilakukan karena didasarkan pada: 1) Adanya perbedaan pandangan di kalangan filosof dan saintis tentang apa yang menjadi sumber ilmu; 2) Perbedaan ini ternyata menimbulkan konsekuensi pada perbedaan paradigma yang dianut masing-masing komunitas masyarakat dalam memandang dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Dunia Islam misalnya. Para filosof dan saintisnya, ternyata memiliki paradigma yang khusus dalam merumuskan smber ilmu pengetahuan. Berkembang pemikiran di kalanga mereka bahwa sumber utama ilmu pengetahuan itu adalah wahyu yang termanifestasikan dalam bentuk Al-Quran dan sunnah.
Berbeda dengan para filosof dan saintis Barat pada umumnya. Menurut pandangan mereka sumber ilmu pengetahuan itu adalah : Rasio/akal dan pengalaman/empiris. Mereka tidak menjadikan intuisi sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Mengapa perbedaan dalam penentuan sumber ilmu pengetahuan itu terjadi? Boleh jadi karena dipengaruhi oleh kondisi dan motivasi yang melatarbelakangi kedua komunitas ini. Kondisi dunia Barat yang dalam cengkeraman gereja menjadi motivasi pembebasan diri dari doktrin-doktrin gereja. Sedangkan bagi filosofis Muslim melahirkan ilmu justeru atas dorongan dan spirit wahyu. Sehingga Islam selain memperkenalkan sumber empiris dan rasional sebagai sumber ilmu pengetahuan, juga memperkenalkan sumber lainnya yaitu wahyu dan intuisi dengan penjelasan sebagai berikut;
1. Empirisme/pengalaman, manusia memperoleh pengetahuan bersumber dari
pengalaman inderawi. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan antara lain:
a. Keterbatasan indera: Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indera menipu: menurut orang yang sakit, gula terasa pahit.
c. Objek yang menipu: fatamorgana.
d. Berasal dari indera dan objek sekaligus: Mata tidak mampu melihat kerbau secara keseluruhan, dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
2. Rasionalisme/akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Dengan menggunakan akal, kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan indera dapat dikoreksi. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan. Seperti: kriteria untuk mengetahui kebenaran suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak.
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) lahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Panca indera mengumpulkan data sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan prinsip-prinsip universal.
3. Intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Merupakan sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Berbeda dengan intuisi, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pemberian Tuhan secara langsung kepada hambaNya yang terpilih: Nabi dan Rasul.
Dari ketiga aliran di atas, kita bisa bayangkan bahwa tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran akan berbeda antara teori satu dengan teori lainnya.
Teori Koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk dari hubungan fakta atau realita tetapi dari hubungan putusan-putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya. Jadi, antara putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan. Dengan demikian, suatu teori dianggap benar apabila tahan uji. Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang, diuji oleh orang lain.
Teori Korespondensi.
Menurut teori ini, sebuah pengertian disebut kebenaran apabila terdapat suatu fakta atau realita yang selaras dengan situasi aktual. Dengan demikian kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.
Teori Pragmatisme.
Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada asas manfaat, kegunaan, atau pengaruhnya yang memuaskan. Yang dimaksud dengan hasil yang memuaskan adalah:
1. Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2. Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis ntuk tetap ada.
BAB V
METODE BERPIKIR ILMIAH
Metode: cara., langkah-langkah, teknik. Ilmiah: bersifat keilmuan, secara pengetahuan. Metode berpikir ilmiah adalah cara, teknik, prosedur memperoleh pengetahuan melalui kerangka kerja ilmiah yang sistematis. Dilakukan agar ilmu berkembang dan tetap eksis serta mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Metode ilmiah adalah suatu prosedur atau cara ternetu untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesa yang ditentukan sebelumnnya. Metode ilmiah dipengaruhi unsure alam yang berubah dan bergerak secara dinamis dan teratur. Asas tunggal alam (natural law) menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam. Corak metode yang bersandar pada alam yang dinamis dan teratur menyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat kecenderungan yang positivistic.
Ditemukannya metode berpikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya ledakan kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi berpangku tangan terhadap kehendak alam. Kesanggupan mengembangkan pengetahuan inilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Jadi, nilai guna metode berpikir ilmiah adalah agar manusia terus menerus mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan kaum terdidik untk memecahkan masalah. Lain dengan kaum awam. Mereka menggunakan cara kerja yang biasanya tidak sistematis dan sering bernuansa subjektif. Kaum terdidik menyelesaikan masalah dengan prosedur berpikir ilmiah dengan karakteristik yang bersifat rasional (deduktif) dan teruji secara empiris (induktif).
Sikap ilmiah merupakan bagian penting dari prosedur berpikir ilmiah yang meliputi enam karakteristik:
1. Rasa ingin tahu sebagai pemicu.
2. Spekulatif untuk menguji hipotesis.
3. Objektif.
4. keterbukaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan.
5. Kesediaan untuk menunda penilaian jika penyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan.
6. Tentatif, tidak bersifat dogmatis terhadap hipotesis atau simpulan.
Untk mencapai apa yang disebut benar,seorang peneliti melakukan aktivitas ilmiah dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menyusun sesuatu yang disebut sebagai masalah.
2. Merumuskan masalah dalam bentuk yang operasional.
3. Menyusun hipotesa.
4. Menetapkan teknik dan menyusun instrument penelitian.
5. Mengumpulkan data yang diperlukan.
6. Melakukan analisa data.
7. Menggambarkan kesimpulan.
Dalam melaksanakan penelitian, para ilmuwan mempunyai dua aspek: individual dan sosial.
a. Aspek individual mengacu pada ilmu sebagai aktivitas ilmuwan.
b. Aspek sosial mengacu pada ilmu sebagai aktivitas suatu komunitas ilmiah dan kumpulan para ilmuwan.
BAB VI
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Kegiatan berpikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berpikir ilmiah adalah berpikir dengan langkah-langkah metode ilmiah seperti: perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literature, menguji hipotesis, menarik kesimpulan. Semua langkah-langkah berpikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat/sarana yang baik sehingga diharapkan hasil berpikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat Bantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmia secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berpikir maka ilmu ilmu merupakan gabungan antara pola berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peeranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan berpikir ilmiah tersebut.
Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berpikir berupa: Bahasa, logika, matematika, dan statistic.
BAB VII
ETIKA
Etika adala salah satu unsure penting yang terdapat dalam teori nilai. Kata teori nilai yang terdiri dari dua kata yakni teore dan nilai itu, tampaknya merupakan terjemahan dari bahasa yunani: logos (akal dan teori0 dan aksios (nilai, atau suatu yang berharga).
Para ahli filsafat sering menyebut teori nilai sama dengan aksiologi. Seperti diketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari tiga cabanga besar Filsafat ilmu, yakni: ontology, epistemology, dan aksiologi. Aksiologi sering disebut sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, criteria dan status metafisik dari nilai.
Nilai memiliki cirri dan karakter khusus. Setidaknya, dalam catatan Filsafat ilmu, nilai memiliki tiga cirri, yaitu :
1. Nilai dan subjek
2. Sikap Praktis
3. Sikap Pandang Subjektif
BAB VIII
ESTETIKA
Estetika sering terkait dengan persoalan seni dan rasa keindahan. Estetika merupakan bagian dari tri tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistimologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan keindahan itu sendiri (estetika).
Estetika berbicara mengenai hakikat keindahan. Selain itu estetika juga berbicara tentang teori mengenai seni, seni yang melukiskan bahasa dan perasaan.
Dengan demikian, estetika berarti suatu teori yang meliputi:
1. penyelidikan mengenai yang indah
2. Penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
3. Pengalaman yang bertalian dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan terhadap seni.
BAB IX
BAHASA ILMIAH
Bahasa dicirikan sebagai:
1. Serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi
2. Lambang dari serangkaian bunyi yang membentuk arti tertentu
Dengan bahasa manusia dapat mengkomunkasikan segenap pengalaman dan berpikir mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat bahasa pun ikut berkembang.
Kemampuan bahasa adalah bagaimana anak mengkontruksi pengetahuannya dan bisa menyampaikan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa adalah salah satu keunikan manusia.
Bahasa bagi manusia berfungsi sebagai:
1. Alat komunikasi atau fungsi komunikatif
2. Alat budaya, yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif.
Di dalam fungsi komunikatif bahasa terdapat tiga unsur bahasa yang digunakan untuk menyampaikan : perasaan (unsure emotif), sikap (unsure afektif), dan buah pikiran (unsure penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi ketiga unsur ini.
Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran dan komunikasi bebas dari pengaruh unsure emotif. Sedangkan perkembangan seni dipengaruhi oleh unsure emotif dan afektif.
Syarat komunikasi ilmiah adalah ;
1. bahasa harus bebas emotif
2. reproduktif artinya komunikasinya dapat dimengerti oleh yang menerima
kekurangan bahasa terletak pada :
1. peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya menginginkan penyampaian buah pikiran atau penalaran saja, sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik
2. arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang mengandung bahasa.
3. konotasi yang bersifat emosional
Rabu, 06 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar